KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis telah panjatkan
atas kehadirat Allah SWT sang Pencipta alam semesta, manusia, dan kehidupan
beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah
serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan tema “Sumber
Hukum Yang Tidak Disepakati ulama” yang sederhana ini dapat terselesaikan
tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan tujuan dari penulisan
makalah ini tidak lain untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban mata pelajaran
Fiqh serta merupakan bentuk
langsung tanggung jawab penulis pada tugas yang diberikan.
Demikian pengantar yang dapat
penulis sampaikan dimana penulis pun sadar bawasannya penulis hanyalah seorang
manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan
hanya milik Allah Azza Wa’jala hingga dalam penulisan dan penyusunnnya masih
jauh dari kata sempurna. Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik
ketidak sempurnaan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan
sesuatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, dan
pembaca. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Penulis, 1 November 2015
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPAUL
....................................................................................... 1
KATA PENGANTAR
………………………………………………………………………………........ 2
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………….. 3
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 4
A. Latar Belakang
……………………………………………………………… 4
B. Rumusan Masalah
…………………………………………………………... 4
BAB II
PEMBAHASAN ………………………………………………………… 5
A. Istihsan
……………………………………………………………………... 5
B. Istishab ……………………………………………………………………... 6
C. Mashalih Al-Mursalah………………………………………………………. 7
D. Al-Urf ………………………………………………………………………. 9
E. Syar’u Man Qablana
………………………………………………………... 11
F. Saddu Al-Dzari’ah …………………………………………………………. 11
G. Madzhab Shahabi
………………………………………………………….. 13
H. Dalalat Al-Iqtiran
…………………………………………………………... 14
BAB III PENUTUP
……………………………………………………………… 15
A. Kesimpulan ………………………………………………………………... 15
B. Saran ………………………………………………………………………. 16
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………… 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang sempurna
yang tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan
dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya
sendiri sebagai pedoman dalam pelaksanaannya.
Islam sebagai agama yang sempurna
memiliki hukum yang datang dari Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui
Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al Qur’an Al Kariim. Kemudian sumber hukum
agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita kenal dengan Hadits. Al
Qur’an dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam
dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Namun, seiiring dengan berkembangnya
zaman ada saja hal-hal yang tidak terdapat solusinya dalam Al Qur’an dan
Hadits. Oleh karena, itu ada sumber hukum agama islam yang lain, diantaranya
Ijma dan Qiyas. Namun, Ijma dan Qiyas tetap merujuk pada Al Qur’an dan Hadits
karena Ijma dan Qiyas merupakan penjelasan dari keduanya.
Jika
kita menelusuri atsar-atsar ulama Salaf dan khabar-khabar ulama Khalaf sejak
masa Khulafaur Rosyidin hingga masa kini tidak kita dapati seorang imam
mujtahid pun bahkan seorang muslim yang awam yang mempunyai sebesar dzarrah
keimanan pada hatinya yang mengingkari kewajiban untuk berpegang teguh pada As
Sunnah dan berhujjah dengannya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun methode Ijtihad yang akan
kami bahas dalam makalah ini:
1. Istihsan
2. Istishab
3. Mashalih Al-Mursalah
4. Al-Urf
5.
Syar’u Man Qablana
6. Saddu Al-Dzari’ah
7. Madzhab Shahabi
8. Dalalat Al-Iqtiran
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ISTIHSAN
1.
Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan
berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh,
ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’. Jadi
singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada
hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam
mengambil hukum Islam. Berbeda dengan Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang
kedudukannya sudah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam. Istihsan
adalah salah satu metodologi yang digunakan hanya oleh sebagian ulama saja,
tidak semuanya.
Yang dikehendaki Istihsan adalah suatu kondisi yang itu berada di
tengah-tengah di antara dua ketentuan. Seolah-olah jika dilihat dari satu sisi,
maka hukum yang lebih cocok adalah A, tetapi jika dilihat dari sisi yang lain
lagi, maka kelihatan hukumnya yang lebih sesuai adalah B. Di dalam bahasa
ulama, bahwa Istihsan itu adalah: mutarajidayni bayna ashlayni, yaitu adanya
kemungkinan bisa kembali kepada dua sumber hukum yang berbeda. Misalkan ada
suatu kasus yang jika diqiyaskan kepada suatu ayat, maka hukumnya adalah haram,
tetapi jika diqiyaskan dengan ayat yang lain lagi, maka hukumnya menjadi
berbeda lagi. Dalam kasus ini, tidak ada ayat Alquran yang jelas-jelas
menunjukkan, juga tak ada Hadis ataupun Ijma’ ulama yang menunjukkan itu, Qiyas
pun ada dua kemungkinan. Sehingga dalam kasus seperti ini digunakanlah
Istihsan.
2. Macam-macam
Istihsan
a. Menguatkan
qiyas khafy atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya wanita yang sedang haid
boleh membaca Al-Quran berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.
b. Pengecualian
sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan)
berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kully, syara' melarang jual
beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad
3. Kedudukan
Istihsan sebagai Sumber Hukum Islam
a. Jumhur
ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan
berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu
b. Golongan
hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah
dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang dikuatkan terhadap qiyas
jaly
c. Fuqaha
hanafiyah maupun malikiyah baru memakai istihsan apabila penerapan hukum
berdasarkan qiyas jaly itu mengakibatkan kejanggalan dan ketidakadilan.
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam
bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya
Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri,
karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari
kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang
mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang
menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang
kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut
pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga
yang disebut dengan segi Isthisan”.
B.
ISTISHAB
1.
Pengertian Istshab
Yang dimaksud dengan istishab adalah mengmbil hokum
yng telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa masa
selajutnya sebelum ada hukumyang mengubahnya. Misalnya: Ahmad menikahi Fatimah secara sah. Setelah itu Ahmad meninggalkan istrinya
itu tanpa proses perceraian yang sah. Dalam keadaan Fatimah ditinggalkan
suaminya itu ada seorang yang ingin menikahinya, yaitu Al-Ghazali. Keinginan
Al-Ghazali untuk menikahi Fatimah tidak dapat dilaksanakan karena Fatimah
menurut status hukumnya adalah istri Ahmad. Selama belum ada buktih bahwa
Fatimah telah dicerai oleh Ahmad maka statusnya tetap sebagai istri Ahmad.
2. Macam macam Istishab
a. Istishab al
ibahah al ashliyah
Istishab yang didasarkan atas hukum ashal dari sesuatu
yang mubah, suatu makanan/tindakan akan dianggap selalu halal/boleh dilakukan/
dimakan menurut hukum aslinya selama tidak ada dalil yg melarang.
b.
Istishab al bara ah al ashliyah
Istishab yg di dasarkan atas prinsip bahwa
padadasarnya setiap orang bebas dari
tuntutan hukum taklifi., seseorang akan dianggap bebasdari kesalahan/ hutang
selama adabelum ada bukti yang mengubahnaya
c. Istishab al
hukum
Didasarkan atas tetapnya status hukum yg sudah ada
selama tidak adabukti yang mengubahnya contoh seseorang yang jelas menikah
/aqad nikah dengan seorang wanita maka si wanita tetap dianggap sebagaiseorang
istri sebelum ada yang mengubanya/ cerai
d. Istishab al
wasf
Yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yng diketahui ada
sebelumnya sampai ada bukti yg mengubahnya, air yang di anggap bersih tetap
dinggap bersi sebelum ada yang mengubahnya.
Manurut
ulama’ ushul fiqih sspakat tentang tiga macam istishab yang telah dikemukan,
tetapi mereka berbeda pendapat pada istishab yang ke empat/istishab al wasf, kalangan
Syafiiah dan Hanabilah sepakat mengunakan secar penuh sedangkan Malikiyah dan
Hanafiyah bahwa Istishab al wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya
bukan untuk menimbulkan hak yang baru.
3. Kedudukan
Istihsan sebagai Sumber Hukum Islam
a.
Menjadikan istishab sebagai pegangan hukum sesuatu peristiwa
yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur’an, As-Sunah maupun ijma’. Ulama
yang termasuk kelompok ini adalah Syafi’iyah, Hambaliyah, Malikiyah,
Dhahiriyah, dan sebagian kecil dari ulama Hanafiyah serta ulama Syi’ah.
b.
Menolak istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum.
Ulama golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama Hanafiyah. Mereka menyatakan
bahwa istishab dengan pengertian seperti di atas adalah tanpa dasar.
C.
MASHALIH
AL-MURSALAH
1.
Pengertian Mashalih
Al-Mursalah
Mashalih bentuk jamak dari masalah, yang artinya kemaslahatan,
kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian maslahah al-mursalah berarti kemaslahatan yang
terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan ,
yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka, sedangkan
dalam syara’(nash) belum atau tidak ada ketentuannya. Al-Khawarizmi menyatakan
bahwa maslahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolak mafsadat
(kerusakan) atau mudharat dari makhluk.
Contoh mashalih mursalah misalnya,
dalam mensya’riatkan adanya penjara, diceritakan mata uang, ditetapkan pajak
penghasilan dan yang diadakan berdasarkan keperluan dalam kehidupan.
2.
Kedudukan Mashalih Mursalah Sebagai Sumber Hukum
Para ulama berbeda pendapat mengenai
mashalih al-mursalah sebagai sumber hukum.
a. Jumhur yang menolaknya sebagai
sebagai sumber hukum, dengan alasan:
ü Bahwa dengan nash-nash dan qiyas
yang dibenarkan, syar’iat senantiasa memperhatiakan kemaslahatan umat
manusia. Tak ada satu pun kemaslahata manusia yang tidak diperhatikan oleh
syari’at melalui petunjuknya.
ü Pembinaan hukum Islam yang
semata-mata didasarkan kepada maslahat yang tidak didukung dengan dalil-dalil
dari nash berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
ü Akan melahirkan perbedaan hukum
akibat perbedaan wilayah/Negara, bahkan pendapat perorangan dalam satu perkara,
karena perbedaan masyarakat tadi.
b. Imam Malik memperbolehkan berpegang
kepadanya secara mutlak. Namun menurut Imam Syafi’I boleh berpegang kepada mashalih al-mursalah apabila sesuai
dengan dalil kully atau dalil juz’iy dari syara’. Pendapat kedua ini
berdasarkan:
ü Kemaslahatan manusia selalu
berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi hanya
pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari Syar’I (Allah), tentu
tidak ada status hukumnya pada masa dab tempat yang berbeda-beda.
ü Para sahabat dan tabi’in serta para
mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada
petunjuknya dari syar’i. Misalnya, membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan
dan membukukan ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagainya.
3. Syarat-syarat Berpegang Kepada
Mashalil Al-Mursalah
a. Maslahat itu harus jelas dan pasti
dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
b. Maslahat itu bersifat umum, bukan
untuk kepentingan pribadi.
c. Hukum yang ditetapkan berdasarkan
maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan
dengan nash atau ijma’.
D.
Al-Urf
1. Pengertian Al-Urf
Yang dimaksud dengan ‘urf ialah
segala sesuatu yang sudah dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat secara
turun-temurun dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa perkataan (qauly)
maupun perbuatan (‘amaly). Ahli-ahli syar’I bahwa antara adat-istiadat dengan
‘urf amalan itu tidak ada bedanya. Contoh ‘urf amali adalah jual beli yang
dilakukan berdasarkan saling pengertian dan tidak mengucapkan sighat yang
diucapkan. Contoh ‘urf qauly ialah orang telah mengetahui bahwa kata al-rajul
itu untuk laki-laki bukan untuk perempuan.
Urf berbeda dengan ijma’
karena ‘urf terjadi berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang dialami oleh
orang-orang yang berbeda tingkatan mereka. Sedangkan ijma’ bentuk dari
persesuaian pendapat khusus dari kalangan mujtahid. Dalam ‘ijma’ orang-orang
umum tidak ikut dalam pembentukannya.
2. Pembagian
‘Urf
‘Urf dapat dibagi atas beberapa
bagian.Ditinjau dari segi sifatnya,’urf terbagi kepada ‘urf qauliy dan ‘urf
‘amaliy :
a. ‘Urf qauliy
Ialah
‘urf yang berupa perkataan, seperti kata walad (ÙˆَÙ„َدٌ). Menurut bahasa, walad berarti anak,
termasuk di dalamnya anak laki-laki dan perempuan. Namun dalam kebiasaan
sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja.
b. ‘Urf ‘amaliy
Ialah ‘Urf
yang berupa perbuatan. Contohnya seperti jual-beli dalam masyarakat tanpa
mengucapkan shigat atau ijab qabul. Padahal menurut syara’, iajb qabul merupakan
salah satu dari rukun jual beli. Tetapi dikarenakan telah menjadi kebiasaan
dalam masyarakat dan tidak terjadi hal-hal yang negatif, maka syara’
membolehkannya.
Adapun ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ‘urf terbagi
kepada ‘urf ‘amm dan ‘urf khash:
a. ‘Urf ‘amm
Ialah
suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat luas, tidak dibatasi
oleh kedaerahan ataupun wilayah. Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A menyebutkan
dalam bukunya bahwa ‘urf ‘amm yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi
sebagian besar wilayah masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya
seperti kebiasaan masyarakat secara umum yang menggunakan uang kertas sebagai
alat tukar dalam jual beli, ataupun kebiasaan masyarakat yang memuliakan setiap
orang yang mempunyai kelebihan di antara masyarakat tersebut.
b. ‘Urf Khash
Ialah
suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu dan di
wilayah tertentu. Contohnya seperti dalam hal pernikahan, tradisi suku Batak
adalah tidak bolehnya menikah laki-laki dan perempuan yang semarga, dikarenakan
mereka menganggap antara laki-laki dan perempuan itu masih mempunyai
pertalian darah. Adapun kebiasaan sebagian bangsa Arab, menikahkan anaknya
dengan anak saudara laki-lakinya adalah lebih utama, dikarenakan pernikahan itu
akan membuat hubungan kekeluargaan lebih rapat.
Selanjutnya ditinjau dari segi
keabsahannya, ‘urf terbagi kepada ‘urf shahih dan ‘urf fasid:
a. ‘Urf Shahih
Ialah
suatu tradisi atau kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Hadits, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula
menggugurkan kewajiban. Contohnya seperti tradisi masyarakat Aceh dan Indonesia
umumnya, menggunakan kain sarung dan kopiah/peci untuk shalat. Ataupun tradisi
masyarakat membuat kue-kue ketika hari raya Islam, membawa kado atau hadiah
pada acara walimatul ‘ursy (pesta pernikahan), dan lain-lain.
b. ‘Urf Fasid
Ialah suatu tradisi atau kebiasaan masyarakat yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, serta menghalalkan yang haram dan
menggugurkan kewajiban.
Contohnya seperti tradisi masyarakat
yang menyajikan sesajen di kuburan atau di tempat-tempat angker lainnya. Hal
tersebut merupakan kemusyrikan dan sangat bertentangan dengan dalil syara’,
kebiasaan yang seperti inilah yang harus diberantas dan tidak dapat dijadikan
panutan. Ada pula seperti tradisi sebagian masyarakat yang merayakan hari ulang
tahun seseorang seperti perayaan yang biasa dilakukan oleh orang-orang kafir.
Ataupun adat kebiasaan masyarakat yang sering kita lihat pada saat adanya
event-event akbar seperti piala dunia, di mana orang-orang saling bertaruh
menentukan siapa pemenang ataupun yang kalah.
E.
SYAR’U MAN QABLANA
1.
Pengertian Syar’u Man Qoblana
Para ulama
menjelaskan bahwa syariat sebelum kita (Syar’u Man Qoblana) ialah hukum-hukum yang
telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oleh para Nabi dan
Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya
syariat Nabi Muhammad SAW.
2. Pemabagian dan Hukum Syar’u Man
Qablana
Secara garis besar syari’at sebelum
kita dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu:
a. Apa yang disyari’atkan kepada mereka
juga ditetapkan kepada kita umat Nabi Muhammad saw. Baik penetapannya itu
melalui perintah melaksanakan melaksanakan seperti puasa, maupun melalui kisah
seperti qishash.
b. Apa yang disyari’atkan kepada mereka tidak disyari’atkan
lagi kepada kita. Misalnya: Dosa orang jahat ini tidak akan terhapus selain
membunuh dirinya sendiri. Dan pakaiaan yang terkenah najis harus dipotong pada
bagian yang terkena najis tersebut.
c. Apa yang disyari’atkan terdahulu itu dikisahkan dalam
Al-Qur’an, akan tetapi, tidak dinyatakan secara jelas oleh syari’at Nabi
Muhammad saw. Bahwa syariat terdahulu itu wajib diikuti umat islam atau tidak.
Maka para ulama berbeda pendapat
Menurut jumhur ulama yang terdiri dari jumhur ulama yang
terdiri dari jumhur jumhur Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah,
menetapkan bahwa hukum tersebut telah diberiakan kepada umat sekarang dengan
kisahnya. Sementara sebagian yang lain tidak mewajibkan mengamalkannya. Sebab
jika wajib, maka tentunya perintah tersebut akan dicantumkan secara jelas.
F.
SADDU
AL-DZARI’AH
1. Pengetian Saddu Al-Dzari’ah
Menurut bahasa saddu berarti menutup dan dzara’I kata jama’ dari dzari’ah
berarti “Wasilah atau jalan”. Jadi
artinya menutup jalan. Sedang menurut istilah ialah “menghambat segala sesuatu yang menjadi jalan kerusakan. Yang
dimaksud dengan saddu al-dzari’ah ialah Artinya “mencegah/menyumbat sesuatu ygang menjadi kerusakan, atau menyumbat
jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan”.
Maksudnya ialah menyumbat segala sesuatu yang akam menjadi jalan menuju
kerusakan.Oleh karena itu, apabila ada perbuatan baik yang akan mengakibatkan
terjadinya kerusakan, maka hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah/disumbat
agar tidak terjadi kerusakan
Pada dasarnya
yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya
yang dibagi menjadi empat, yaitu :
a. Perbuatan
yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti menggali sumur di belakang
pintu rumahdijalan gelap yang bisa membuat orang yang akan masuk rumah jatuh
kedalamnya.
b. Perbuatan
yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti berjual makanan yang tidak
menimbulkan bahaya, menanam anggur sekalipun akan dibuat khamar. Ini halal
karena membuat khamar adalah nadir
(jarang terjadi)
c. Perbuatan
yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak pula
dianggap nadir (jarang
terjadi). Dalam keadaan ini, dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup
pintu (saddu dzari’ah) adalah
wajib mengambil ihtiat
(berhati-hati) terhadap kerusakan sedapat mungkin, sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut
amali menempati ilmu yakin. Contohnya menjual senjata diwaktu perang/fitnah,
menjual anggur untuk dibuat khamar, hukumnya haram.
d. Perbuatan
yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat
timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli yang menjadi sarana bagi riba, ini
diharamkan. Mengenai bagian keempat initerjadi perbedaan pendapat dikalangan
para ulama, apakah ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam
Ahmad menetapkan haram
2. Kedudukan Saddu Al-Dzari’ah Sebagai
Sumber Hukum
Para ulam berbeda pendapat mengenai
kedudukan saddu al-dzari’ah ini sebagai sumber hukum:
a. Menurut Imam Maliki dan para
pengikutnya bahwa sad al-dzari’ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab
sekalipun mubah akan tetap, dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh agama. Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah
termasuk saddu al-dzari’ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib
ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang
termasuk saddu al-dzari’ah.
b. Munurut Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi’I, bahwa sad al-dzari’ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena
sesuatu yang memnurut hukum asalnya mubah, tetapi diperlakukan sebagai yang
mubah. Dalam sebuah hadits, Nabi saw mengatakan:
G. MADZHAB SHAHABI
1.
Pengertian Madzhab Shahabi
Yang dimaksud dengan mazhab shahabi ialah pendapat sahabat rasulullah SAW
tentang suatu kasus diaman hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Sedangkan menurut sebagian ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan mazhab shahabi yaitu, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang atau
beberapa sahabat Rasulullah secara individu, tentang suatu hukum syara’ yang
tidak terdapat ketentuanya dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW.
Sedangkan mazhab shahabi itu sendiri menunjuk pengertian pendapat hukum para
sahabat secara keseluruhan tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah, dimanan pendapat para sahabat tersebut nerupakan hasil
kesepakatan diantara mereka. Dengan demikian dapat dipahami, perbedaan antara
keduannya ialah,qaul ash-shahabi merupakan pendapat perorangan,yang antara satu
pendapat sahabat dengan pendapat sahabat yang lainya dapat berbeda. Sedangkan
mazhab shahabi merupakan pendapat bersama.
2.
Kedudukan Madzhab Shahabi Sebagai
Sumber Hukum
Menurut
pendapat para sahabat dibagi 3 yaitu :
a.
Mazhab Shahabi yang berdasarkan
sunah rasul wajib ditaati. Sebab hakikatnya ini merupakan sunnah Rasul.
b.
Mazhab Shahabi yang berdasarkan
ijtihad dan sudah mereka sepakati (ijma’ Shahabi) dapat dijadikan hujjah dan
wajib ditaati. Sebab mereka disamping dekat dengan Rasul mereka mengatahui
rahasia rahasia tasyri’ dan mengatahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa
yang sering terjadi. Seperti
kasus pembangian warisan, nenek mendapat bagian 1/6.
c.
Mazhab Shahabi yang tidak mereka
sepakati tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak wajib ditaati. Imam Syafi’i
menyatakan tidak melihat seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat
untuk dijadikan hujjah,’ sebab perkataan sahabat tersebut didasarkan kepada
ra’yu dan diantara sahabat sendiri juga berbeda pendapat.
H. DALALAT AL-IQTIRAN
1.
Pengertian Dalalat Al-Iqtiran
Yang
dimaksud dengan dalalat al-iqtiran ialah dalil-dalil yang menunjukan kesamaan
hukum terhadap sesuatu yang dsisebutkan bersama dengan sesuatu yang lain.
2.
Kedudukan Dalalat Al-Iqtiran Sebagai Sumber Hukum.
Para ulama
berbeda pendapat menganai kedududkan dalalat al-iqtiran sebagai sumber hukum:
a. Jumhur ulama berpendapat bahwa
dalalat al-iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah, sebab bersama dalam satu
susunan tidak mesti bersama dalam hukum.
b. Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah,
Ibnu Nashr dari golongan Malikiyah dan Ibnu Ibn Abu Hurairah dari kalangan
Syafi’iyah mernyatakan dapat dijadikan hujjah. Alasan mereka bahwa sesungguhnya
‘athf itu menghendaki musyarakat;
BAB III
P E N U T U P
A.
KESEMPULAN
Dari
pembahasan di atas maka dapat dipahami bahwa tidak semua Ulama sepakat untuk
mengambil dan mengikkuti Madzhab Shahabat sebagi hujjah dalam menetapkan
suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah
jumhur ulama mengikuti dan mengambil Madzhab Shahabat sebagi hujjah
dalam istimbath hukum, terutama Imam Madzhab yang empat (Imam, Maliki,
Imama Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).
Kemudian,
alasan Ulama menggunakan pendapat Shahabat sebagai hujjah, mereka
berdasarkan beberapa dalil baik naqli maupan aqli. Salah satu di antara dalil
tersebut adalah: Firman
Allah SWT. Yang Artinya : “Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah”. (At-Taubah : 100).
Dan juga dalil
aqli, yaitu: “Para
Shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW. dibanding
orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’,
lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an,
mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada
petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-nash Al-Qur’an
diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereke lebih layak untuk diikuti”.
Juga dikatakan
bahwa: Pendapat Shahabat tidak menjadi hujjah atas Shahabat lainnya. Hal
ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat
Shahabat bisa menjadi hujjah atas Tabi’n. Ulama ushul memiliki
tiga pendapat, di antaranya adalah:.
1.
Satu pendapat mengatakan bahwa
Madzhab Shahabat dapat menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam
Maliki, Abu Baker Ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam
Syafi’i dalam madzhab qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal
dalam salah satu riwayat.
2.
Satu pendapat mengatakan bahwa Madzhab
Shahabat secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum. Pendapat
ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam madzhabnya
yang jadid juga Abul Hasan Al-Kharha dari golongan Hanafiyah.
3.
Ulama Hanafiyah, Imam Malik, Qaul Qadim
Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad Bin Hanbal, menyatakan bahwa
pendapat shahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat shahabat
bertentangan dengan qiyas maka pendapat shahabat didahulukan. Wallahu
a’lam
B. SARAN
Penyusun menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap semoga makalah
ini bisa menjadi inspirasi dan motivasi agar teman-teman bisa membuat makalah
yang lebih sempurna.
Manusia dalam berbuat tentunya
terdapat kesalahan yang sifatnya tersilap dari yang telah ditetapkan atau
seharusnya. Apalagi dalam kegiatan menyusun makalah ini. Untuk itu, penulis
harapkan dari pembaca, khususnya kepada Ibu Mata Pelajaran FIQIH yaitu Ibu MAHADA, S.Ag mohon kritik dan sarannya guna perbaikkan
penyusunan selanjutnya.
PUSTAKA
https://apit2009065.wordpress.com/ihtihsan-istihab-mashalih-murshalah-saddus-djariah/
http://adilhidayat01.blogspot.co.id/2012/10/makalah-tentang-istishaburfqaul.html
http://kaharmusakkar97.blogspot.co.id/2015/03/makalah-hudud-dan-hikmahnya.html
Suparta, Mundzier dan Zainuddin, 2008
Djedjen Pendidikan Agama Islam FIKIH , Semarang: PT. Karya Toha Putra
Untuk Navigasi Lengkap Silahkan Kunjungi Peta Situs