DALIL DALIL TENTANG AKIDAH
DI_
S
U
S
U
N
OLEH:
Kahar Musakkar
JURUSAN PERBANDINGAN
MASHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN
HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2014/2015
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas Rahmat dan Hidayahnya semoga kita semua dalam
keadaan sehat walafiat tak kurang suatu apa dan sukses dalam aktifitas sehari
harinya, amin.
Makalah ini dapat tersusun untuk memenuhi materi kuliah
dan tugas mata kuliah Studi Akiadah akhlak yang di berikan
oleh Irfan
S.Ag, M.Ag
Tersusunya makalah ini, bagi penulis merupakan suatu
kepuasan tersendiri, karena dengan tersusunya makalah ini penulis menjadi giat
membaca dan belajar sekuat tenaga maupun fikiran untuk mencapai pemahaman yang
lebih dalam, khususnya dalam memahami persoalan Akidah yang saat ini begitu banyaknya hadist
dhoif yang berkembang di tengah tengah Masyarakat kita. Dengan memahami
kriteria hadist melalui berbagai sumber maka diharapkan kita khususnya penulis
dapat mengambil hikmah dan menjalankan amalan amalan yang benar benar hadist
Nabi Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa uraian makalah ini masih jauh
dari harapan dan penulis berharap adanya koreksi dan penilaian dari Bapak Irfan S.Ag, M.Ag, selaku Dosen
dan berharap mendapatkan nilai yang terbaik, amin.
Penyusun…
DAFTAR
ISI
Halaman
Sampul……………………………………………………………………………....... 1
Kata
Pengantar…………………………………………………………………………………. 2
Daftar Isi………………………………………………………………………………………….3
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………..4
A. Latar
Belakang………………………………………………………………4
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………...4
C. Tujuan Masalah……………………………………………………………...4
BAB II.
PEMBAHASAN………………………………………………………. .5
A. Pengertian Dan
Landasan Aqidah………………………………………….5
B.
Ruang Lingkup, Kaidah, Fungsi Serta Manfaat Aqidah
Islam…………11
BAB
III. PENUTUP……………………………………………………………16
A.
Kesimpulan………………………………………………………………..16
B.
Daftar Pustaka……………………………………………………………17
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Aqidah adalah
pokok-pokok keimanan yang telah ditetapkan oleh Allah, dan kita sebagai manusia
wajib meyakininya sehingga kita layak disebut sebagai orang yang beriman
(mu’min). Namun bukan berarti bahwa keimanan itu ditanamkan dalam diri
seseorang secara dogmatis, sebab proses keimanan harus disertai dalil-dalil
aqli. Akan tetapi, karena akal manusia terbatas maka tidak semua hal yang harus
diimani dapabt diindra dan dijangkau oleh akal manusiaPara ulama sepakat bahwa
dalil-dalil aqli yang haq dapat menghasilkan keyakinan dan keimanan yang kokoh.
Sedangkan dalil-dalil naqli yang dapat memberikan keimanan yang diharapkan
hanyalah dalil-dalil yang qath’i. Makalah kecil ini menampilkan beberapa
bahasan yang bisa membantu siapa saja yang ingin memahami aqidah.
2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa aqidah
itu?
2. Apa
landasan filosofis dan religiusnya?
3. Apa saja
ruang lingkup aqidah?
4. Apa kaidah
dari aqidah?
5. Apa fungsi
aqidah?
3. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan pengertian aqidah
2. Menjelaskan landasan filosofis dan religiusnya
3. Menerangkan tentang ruang lingkup aqidah
4. Memaparkan delapan kaidah aqidah
5. Menyampaikan fungsi utama aqidah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN LANDASAN
AQIDAH
1. Pengertian Aqidah Islam
Secara etimologi (lughatan), aqidah
berakar dari kata ‘aqada - ya’qidu - ‘aqdan yang berarti simpul, ikatan,
perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.
Relevansi antara arti kata aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul
dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
Secara terminologis (isthilahan),
terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:
a. Menurut Hasan al-Banna:
العقائد هي الأمور التى يجب
أن يصدق بها قلبك وتطمئن اليها نفسك وتكون يقينا عندك لا يمازجه ريب
ولايخالطه شك
“Aqidah adalah beberapa perkara
yang wajib diyakini keberadaannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa,
menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”
b. Munurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
العقيدة هي مجموعة من قضايا الحق البدهية المسلمة بالعقل, والسمع والفطرة, يعقد عليها الإنسان قلبه, ويثنى عليها صدره جازما بصحتها, قاطعا بوجودها وثبوتها لايرى خلافها أنه يصح
أو يكون أبدا
“Aqidah
adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia
berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran) itu dipatrikan oleh manusia di
dalam hati serta diyakini kesahihan dan kebenarannya secara pasti dan ditolak
segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”
Untuk lebih memahami kedua definisi
di atas maka perlu dikemukakan beberapa catatan tambahan:
1.
Ilmu terbagi dua:
pertama ilmu dharuri, kedua ilmu nazhari.
Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu
dharuri. Misalnya anda melihat meja di hadapan mata, anda tidak lagi
memerlukan dalil atau bukti bahwa benda itu ada. Sedangkan ilmu yang memerlukan
dalil atau pembuktian itu disebut ilmu nazhari. Misalnya 1+1=2, tentu
perlu dalil untuk orang yang belum tahu teori itu. Di antara ilmunazhari itu,
ada hal-hal yang karena sudah sangat umum dan terkenal maka tidak memerlukan
lagi adanya dalil, misalnya sepeda bannya ada dua sedangkan mobil bannya ada
empat, tanpa dalil siapapun pasti mengetahui hal tersebut. Hal inilah yang
disebutbadihiyah. Badihiyah adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil
pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran
itu tidak perlu pembuktian lagi.
2.
Setiap
manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari
kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi
pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Tentang Tuhan,
misalnya, setiap manusia memiliki fithrah bertuhan, dengan indera dan akal dia
bisa buktikan adanya Tuhan, tapi hanya wahyulah yang menunjukkan kepadanya
siapa Tuhan yang sebenernya.
3.
Keyakinan
tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Sebelum seseorang sampai ke
tingkat yakin dia akan mengalami lebih dahulu Syak (50%-50% antara membenarkan
dan menolak), kemudian Zhan (salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya
karena ada dalil yang menguatkan), kemudian Ghalabatuz Zhan (cenderung
menguatkan salah satu karena dalilnya lebih kuat, tapi masih belum bisa
menghasilkan keyakinan penuh), kemudian Ilmu/Yakin (menerima salah satu dengan
sepenuh hati karena sudah meyakini dalil kebenarannya). Keyakinan yang sudah
sampai ke ringkat ilmu inilah yang disebut aqidah.
4.
Aqidah
harus mendatangkan ketenteraman jiwa. Artinya lahiriyah seseorang bisa saja
pura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan
ketenangan jiwa karena dia harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan
keyakinannya. Kawin paksa misalnya, hidup satu rumah dengan orang yang tidak
pernah dia sukai, secara lahiriyah hubungan mereka telah sukses karena berakhir
dipelaminan namun jiwa mereka tidaklah tenteram seperti kelihatan.
5.
Bila
seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala yang
bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini
sekaligus dua hal yang bertentangan. Misalnya ada meyakini gula itu rasanya
manis, tentunya anda akan menolak untuk meyakini bahwa gula itu rasanya asin,
tidak mungkin anda yakin bahwa gula itu rasanya manis dan asin.
6.
Tingkat
keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat pemahamannya terhadap
dalil. Misalnya:
a. Anda akan meyakini adanya beasiswa bila
anda mendapatkan informasi tentang beasiswa tersebut dari orang yang anda kenal
tidak pernah berbohong.
b. Keyakinan itu akan bertambah apabila
anda mendapatkan informasi yang sama dari beberapa orang lain, namun tidak
menutup kemungkinan bahwa anda akan meragukan kebenaran informasi itu apabila
ada syubuhat (dalil dalil yang menolak informasi tersebut).
c. Bila anda melihat pengumuman beasiswa di
fakultas maka bertambahlah keyakinan anda sehingga kemungkinan untuk ragu
semakin kecil
d. Apabila anda diberi formulir pengajuan
beasiswa maka keyakinan anda semakin bertambah dan segala keraguan akan hilang
bahkan anda tidak mungkin ragu lagi bahkan anda tidak akan merubah pendirian
anda sekalipun semua orang menolaknya.
e.
Ketika
anda bolak balik mengurus segala yang terkait dengan beasiswa maka bertambahlah
pengetahuan dan pengalaman anda tentang beasiswa yang diyakini tadi.
2. Landasan Filosofis
Aqidah Islam
Pada hakikatnya filsafat dalam
bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah mengutus (Rasul) yang membawa pesan
dari-Nya untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Pesan Allah itu ditulis
dalam Al-Kitab (Al-Qur’an). Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan
berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam
sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu
serba teratur, cermat dan berhati-hati. Yang menerima hikmah-hikmai inilah yang
disebut “Hukuman” atau “Filosof”.
Berikut beberapa pendapat para filosof barat tentang
Tuhan:
a. Pendapat Xenophanes
Xenophanes menyatakan: “Tuhan hanya satu, yang terbesar
di antara dewa dan manusia, tidak serupa dengan makhluk yang fana.”
“Tuhan Yang Esa itu tidak dijadikan tidak bergerak
dan berubah-ubah, dan ia mengisi seluruh alam. Dia melihat semuanya, mendengar
semua dan memikirkan seluruhnya. Mudah sekali Ia memimpin alam ini dengan
kakuatan fikirNya.”
b. Pendapat Socrates
Socrates menyatakan: “Tuhan pencipta ala mini
bukanlah hanya untuk memikirkan dan memperhatikan manusia saja, tapi ialah roh
bagi manusia. Jika tidak begitu cobalah sebutkan padaku, hewan manakah yang
dapat mengetahui adanya Tuhan yang mengatur susunan tubuh yang mempunyai
sifat-sifat tinggi seperti ini! Coba katakana hewan mana selain manusia yang
dapat dibawa akalnya menyembah dan berkhidmah kepada Tuhan?”
c. Pendapat Descartes
Descartes menyatakan: “Saya tidak menjadikan diri
saya sendiri. Sebab kalau saya menjadikan, tentulah saya dapat memberikan
segala sifat kesempurnaan kepada diri saya itu. Oleh sebab itu tentu saya
dijadikan oleh Dzat yang lain. Dan sudah pasti pula Dzat lain itu menjadikan
saya mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, kalau tidak akan sama halnya dengan
diri saya.”
“Saya selalu merasa diri saya dalam kekurangan, dan
pada waktu itu juga diri saya merasa tentu ada Dzat yang tidak kekurangan,
yakni sempurna. Dan Dzat yang sempurna itu ialah Allah”
3. Landasan
Religius Aqidah Islam
Sumber aqidah Islam adalah
Al-Qur’an dan Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam
Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya wajib diimani (diyakini dan diamalkan).
pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi
hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut
dan mencoba –kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiah kebenaran yang
disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran
bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan
mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas. Misalkan, saat ditanya, kekal
[sesuatu yang tidak terbatas] itu sampai kapan?, maka akal tidak akan mampu
menjawabnya karena akal itu terbatas.
Aqidah itu mempunyai sifat keyakinan dan kepastian sehingga tidak
mungkin ada peluang bagi seseorang untuk meragukannya. Dan untuk mencapai
tingkat keyakinan ini, aqidah Islam wajiblah bersumber pada dua warisan
tersebut [Al-Qur’an Hadits] yang tidak ada keraguan sedikit pun padanya. Dan
akal bukanlah bagian dari sumber yang tidak ada keraguan padanya.
Dengan kata lain, untuk menjadi
sumber aqidah, maka asal dan indikasinya haruslah pasti dan meyakinkan, tidak
mengandung sedikut pun keraguan. Jika kita memandang Al-Qur’an dari segi wurud,
maka ia adalah pasti lagi meyakinkan karena telah ditulis selagi Rasulullah
masih hidup dan juga dihafal serta sejumlah besar sehabat yang mustahil mereka
sepakat berdusta untuk memalsukannya. Dan juga karena itu, tidak pernah timbul
perselisihan tentang kesahihan Al-Qur’an di kalangan umat Islam sejak dahulu
hingga sekarang. Tidak pernah ada yang berbeda pendapat bahwa Tuhan itu ada,
bahwa Tuhan itu satu, bahwa Tuhan itu mahakuasa.
Aqidah atau iman itu mempunyai peran dan pengaruh dalam hati. Ia
mendorong manusia untuk melakukan amal-amal yang baik dan meninggalkan
perbuatan keji dan mungkar. Ia mengawal dan membimbing manusia ke jalan yang
lurus dan benar serta menjaganya untuk tidak tergelincir ke dalam lembah
kesesatan; dan juga menanamkan dalam dirinya kecintaan kepada kebenaran dan
kebaikan. Sesungguhnya hidayah Allah hanya diberikan kepada manusia yang
hatinya telah dimasuki iman.
Allah berfirman dalam Surat
al-Taghabun/64:11 :
. . . ومن يؤمن بالله يهد
قلبه . . .(التغابن 11)
“Dan barang siapa
yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberi hidayah kepada hatinya.”
Pada hakikatnya, iman yang dalam hati itu atau
aqidah ibarat nur atau cahaya yang menerangi hati dan sangat diperlukan oleh
manusia dalam kehidupannya di dunia. Tanpa cahaya itu hati sangat gelap,
sehingga akan sangat mudah orang tergelincir dalam lembah maksiat. Ibarat orang
yang berjalan pada waktu malam tanpa lampu atau cahaya, ia akan sangat mudah
terperosok ke dalam lobang atau jurang. Demikianlah peranan iman yang merupakan
bangunan bawah/fondasi utama dari kepribadian yang kukuh dan selalu mengawal
serta membuat hati agar selalu baik dan bersih, sehingga dapat memberi
bimbingan bagi manusia ke arah kehidupan yang tenteram dan bahagia.
B.
RUANG LINGKUP, KAIDAH, FUNGSI SERTA MANFAAT AQIDAH ISLAM
1. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Meminjam sistimatika Hasaln al-Banna maka ruang
lingkup pembahasan aqidah adalah:
a. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah,
nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah dan lainnya.
b. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk tentang Kitab-Kitab
Allah, mu’jizat, karamat dan lain sebagainya.
c. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin,
Iblis, Syetan, Roh dan lain sebagainya.
d. Sam’iyyat. Yaitu pembahasan tentang
segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewatSam’i (dalil naqli berupa
Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda
kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.
Di samping sistimatika di atas,
pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistimatika arkanul iman (rukun iman)
yaitu:
1. Iman Kepada Allah SWT.\
2. Iman Kepada Malaikat (termasuk juga
makhluk ruhani lain seperti Jin, Iblis dan Syetan).
3. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.
4. Iman Kepada Nabi dan Rasul.
5. Iman Kepada Hari Akhir.
6. Iman Kepada Takdir Allah.
2. Delapan
Kaidah Aqidah
a. Apa yang saya
dapat dengan indera saya, saya yakin adanya, kecuali bila akal saya mengatakan
“tidak”
berdasarkan
pengalaman masa lalu.
Misalnya, bila saya untuk pertama kali
melihat sepotong kayu di dalam gelas berisi air putih kelihatan bengkok, atau
melihat genangan air di tengah jalan [fatamorgana], tentu saja saya akan
membenarkan hal itu. Tapi bila terbukti kemudian bahwa hasil penglihatan indera
saya salah maka untuk kedua kalinya bila saya melihat hal yang sama, akal saya
langsung mengatakan bahwa yang saya lihat tidak demikian adanya.
b. Keyakinan, di samping diperoleh dengan
menyaksikan langsung, juga bias melalui berita yang diyakini kejujuran si
pembawa berita.
Banyak hal yang memang tidak atau belum kita
saksikan sendiri tapi kita meyakini adanya. Misalnya anda belum pernah ke
Thailand, Afrika atau Yaman, tapi anda meyakini bahwa negeri-negeri tersebut
ada. Atau tentang fakta sejarah, tentang Daulah Abbasiyah, Umayyah atau tentang
kerajaan Majapahit, dan lain-lain, anda meyakini kenyataan sejarah itu
berdasarkan berita yang anda terima dari sumber yang anda percaya.
c. Anda tidak
berhak memungkiri wujudnya sesuatu, hanya karena anda tidak bisa menjangkaunya
dengan indera anda.
Kemampuan alat indera memang sangat terbatas.
Telinga tidak bisa mendengar suara semut dari jarak dekat sekalipun, mata tidak
bisa menyaksikan semut dari jarak jauh. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa memungkiri
wujudnya sesuatu hanya karena inderanya tidak bisa menyaksikannya.
d. Seseorang
hanya bisa menghayalkan sesuatu yang sudah pernah dijangkau oleh inderanya.
Khayal manusiapun terbatas. Anda tidak akan bisa
menghayalkan sesuatu yang baru sama sekali. Waktu anda menghayalkan kecantikan
seseorang secara fisik, anda akan menggabungkan unsur-unsur kecantikan dari
banyak orang yang sudah pernah anda saksikan.
e. Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang
terikat dengan ruang dan waktu.
Tatkala mata mengatakan bahwa tiang-tiang listrik
berjalan waktu kita menyaksikannya lewat jendela kereta api akal dengan cepat
mengoreksinya. Tapi apakah akal bisa memahami dan menjangkau segala sesuatu?
Tidak. Karena kemampuan akalpun terbatas. Akal tidak bisa menjangkau sesuatu
yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.
f.
Iman adalah fithrah setiap manusia.
Setiap manusia memiliki fithrah mengimani adanya
Tuhan. Pada saat seseorang kehilangan harapan untuk hidup, padahal dia masih
ingin hidup, fithrahnya akan menuntun dia untuk meminta kepada Tuhan. Misalnya
bila anda masuk hutan, dan terperosok ke dalam lubang, pada saat anda
kehilangan harapan untuk bisa keluar dari lubang tiu, anda akan berbisik “Oh
Tuhan!”
g.
Kepuasan materil di dunia sangat terbatas.
Manusia tidak akan pernah puas secara materil.
Seorang yang belum punya sepeda ingin punya sepeda. Setelah punya sepeda ingin
punya motor dan seterusnya sampai mobil, pesawat, dan lain lain. Bila keinginan
tercapai maka akan berubah menjadi sesuatu yang “biasa”, tidak ada rasa
kepuasan pada keinginan itu. Selalu saja keinginan manusia itu ingin lebih dari
apa yang sudah di dapatnya secara materil. Dan keinginan manusia akan dipuaskan
secara hakiki di alam sesudah dunia ini.
h.
Keyakinan tentang hari akhir adalah konsekuensi
logis dari keyakinan tentang adanya Allah.
Jika anda beriman kepada Allah, tentu anda beriman
dengan segala sifat-sifat Allah, termasuk sifat Allah Maha Adil. Kalau tidak
ada kehidupan lain di akhirat, bisakah keadilan Allah itu terlaksana? Bukankah
tidak semua penjahat menanggung akibat kejahatannya di dunia ini? Bukankah
tidak semua orang yang berbuat baik merasakan hasil kebaikannya?. Bila anda
menonton film, ceritanya belum selesai tiba-tiba saja dilayar tertulis kalimat
“Tamat”, bagaimana komentar anda? Oleh sebab itu, iman anda dengan Allah
menyebabkan anda beriman dengan adanya alam lain sesudah alam dunia ini yaitu
Hari Akhir.
3. Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk
mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan harus semakin
kokoh pula fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat
ambruk. Tidak ada bangunan tanpa fondasi.
Kalau ajaran Islam kita bagi dalam
sistimatika Aqidah Ibadah Akhlak dan Mu’amalat, atau Aqidah Syari’ah dan
Akhlak, atau Iman Islam dan Ihsan, maka ketiga/keempat aspek tersebut tidak
bisa dipisahkan sama sekali. Satu sama lain saling terkait. Seseorang yang
memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib,
memiliki akhlak yang mulia dan bermu’amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak
akan diterima oleh Allah swt kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Misalnya
orang nonmuslim memberi beras kepada seorang yang miskin, amal ibadah orang itu
nilainya NOL di hadapan Allah, Allah tidak menerima ibadahnya karena orang itu
tidak punya landasan aqidah.
Seseorang bisa saja merekayasa
untuk terhindar dari kewajiban formal, misalnya zakat, tapi dia tidak akan bisa
menghindar dari aqidah. Misalnya, aqidah mewajibkan orang percaya bahwa Tuhan
itu cuma satu yaitu Allah, orang yang menuhankan Allah dan sesuatu yang lain
[uang misalnya] maka akan kelihatan nanti, tidak bisa ditutup-tutupi, tidak
bisa direkayasa. Entah dari bicaranya yang seolah-olah uang telah membantu
hidupnya, tanpa uang dia tidak akan nisa hidup, atau dari perilakunya yang satu
minggu sekali datang ke pohon besar dan berdoa disitu.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah
SAW selama 13 tahun periode Mekah memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah
yang benar dan kokoh. Sehingga bangunan Islam dengan mudah berdiri di periode
Madinah. Dalam dunia nyatapun ternyata modal untuk membangun sebuah bangunan
itu lebih besar tertanam di fondasi.. Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari
kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka syari’at/jasad kita tidak ada guna
apa-apa..
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan sebagai fondasi. Di mana
seluruh komponen ajaran Islam tegak di atasnya. Aqidah merupakan beberapa
prinsip keyakinan. Dengan keyakinan itulah seseorang termotivasi untuk
menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Karena sifatnya keyakinan maka materi
aqidah sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan oleh Allah Swt. melalui
wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad Saw.
Pada hakikatnya
filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Allah
menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal
adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang
Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat dan berhati-hati.
Sumber aqidah Islam
adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah,
tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber
tersebut dan mencoba –kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiah kebenaran
yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu
kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal
tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas.
Jadi aqidah
berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka
syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.
B. Daftar Pustaka
Drs. H. Yunahar Ilyas,
Lc., Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta, LPPI, 1992.
Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Aqidah Islam, Jakarta, Bulan Bintang,
1997.
Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir, Aqidah al-Mukmin, Cairo,
Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1978.
Al-Banna Hasan, Majmu’atu ar-Rasail, Muassasah ar-Risalah
Beirut, tanpa tahun.
Drs. Edi Suresman, A.Md., Aqidah Islam, Malang, IKIP, 1993.
Untuk Navigasi Lengkap Silahkan Kunjungi Peta Situs