TUJUH HARI SEBELUM KEMATIAN


          Jika kamu inggal punya TUJUH hari untuk hidup, apa yang akan kamu lakukan ?
1.    Ingin cium seseorang ?  kamu cium !
2.    Ingin pergi dari seseorang ?  Kamu pergi !
3.    Ingin dansa bugil di tengah jalan ?  kamu dansa !


a.     Gimana kalau orang mgad suka ?
b.    Gimana kalau diomongin orang ?
c.     Gimana kalau mdag berhasil ?
d.    Gimana kalau nanti malu maluin ?

Bodoh amat sebentar lagi gua MATI.
Lalu kamu tertawa ‘HAHAHAHA’ dan melakukan lagi apapun yang ingin kamu lakukan tanpa beban.
Saat seseorang sudah dekat dengan kematian , ia akan memangkas semua rasa malu, rasa takut dan rasa tidak enak hati. Ia tidak punya waktu berfikir, berlogika maupun berfilsafat. Ia hanya akan melakukan apa yang ia lakukan secepat mungkin, seradikal mungkin.
Kematian adalah penawar rasa malu, rasa takut, dan rasa tidak enak hati
Kematian adalah juga penawar kekhawatiran untuk gagal dan terjun total kedalam sebuah proses tanpa ekspektasi untuk mendapatkan hasil.
Keberhasilan bukanlah hal yang utama. Yang utama adalah sensasi proses. The exprience of totality.
Pada akhirnya, semua bukan tentang hasil yang sempurna, melainkan tentang merasakan apapun yang kamu ingin lakukantanpa penyesalan.
Kabar buruknya, kamu tidak pernah tau kapan kamu MATI.
Mungkin besok, mungkin hari ini,mungkin setelah membaca artikel ini.
Kita semua pasti mati, yang membedakan hanyalah seberapa radikal kita mau mengalami secara total akan apa yang benar benar kita ingin lakukan tanpa terbebani rasa malu, rasa takut, dan rasa tidak enak hati.
          “gimana kalau orang mgad suka?”  “gimana kalau diomongin orang?”  “gimana kalau mgad berhasil?” “gimana kalau nanti malu maluin ?”

Lakukan !!!
Karena hanya kamu yang akan menyesali semua yang belum sempat kamu lakukan, sesaat sebelum kamu mati.

KISAH KASIH KEHIDUPAN KU



 


Dalam kehidupan yang kualami selama masa saat ini adalah keadaan dimana kesedihan dan kebahagiaan selalu datang menjelma, menghantui persaan hidupku. Kadang kebahagiaaan kurasakan hanya sekejap. Namun bergantilagi dengan kesedihan atau penderitaan.
Kini ....
          Aku bisa menjalaninyadengan persaan tak menentu. Kini hanya bayangan semu beganti silang yang berarah untuk mencapai damai kehidupan yang penuh dengan liku-liku dan rintangan hidup yang tak menentu.
          Kini rintangan kehidupan akan sering kujalani walaupun isk tangis  mata akan selalu terdengar di telinga karena hidup penuh pengorbanan.
Ya Rabb ..
          Bila ini karunia dan takdirmu bagi umatmu ini, maka satu permintaanku “berilah kekuatan dan ketabahan bagi hambahmu untuk bisa menghadapi semua ini”. Walaupun penderitaan silih berganti Aku akan tetap menannti kebahagiaan yang terjadi didalam ruang Batinku.



by. Kahar Muzakkar Ds Situru
https://www.facebook.com/pages/Kahar-Musakkar-DS-Situru/773989079298990?ref=bookmarks

PETANI


PETANI


Dari pintu sawah yang kontangseorang anak tani melempar hatinyajauh kedada senja yang bimbangwarna senja itu warna hatinya

Senja pun semakin larutberbalam...lalu kelammalam membalutnyabersama misteri alamsesama menyusur malam yang gulitapun mengharapkan esoknya

siang pastikan menjelangSiang menghadirkan dirimewarnai kehidupan petanibertongkah arus beralih zaman

Tiada lagi kerbau di sawahtiada lagi sepat dan puyumelata di kalitiada lagi kemeriahan petanibergotong royong mengerjakan sawahsemuanya di bayangi kenangan

Kini...semuanya tiada lagisunyi dan sepisesepi hati anak tani..

x

Keutamaan Dzikir


بسم الله الرحمن الرحيم

Dzikir merambah aspek yang luas dalam diri insan. Karena dengan dzikir, seseorang pada hakekatnya sedang berhubungan dengan Allah. Dzikir juga merupakan makanan pokok bagi hati setiap mu’min, yang jika dilupakan maka hati insan akan berubah menjadi kuburan. Dzikir juga diibaratkan seperti bangunan-bangunan suatu negri; yang tanpa dzikir, seolah sebuah negri hancur porak poranda bangunannya. Dzikir juga merupakan senjata bagi musafir untuk menumpas para perompak jalanan. Dzikirpun merupakan alat yang handal untuk memadamkan kobaran api yang membakar dan membumi hanguskan rumah insan. Demikianlah diungkapkan dalam "Tahdzib Madarijis Salikin".

Rasulullah SAW juga pernah menggambarkan perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah seperti orang yang hidup, sementara orang yang tidak berdzikir kepada Allah sebagai orang yang mati:

عَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الذِّي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالذِّي لاَ يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ

"Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dan orang yang tidak berdzikir, adalah seumpama orang yang hidup dan mati." (HR. Bukhari)

Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga mengumpamakannya dengan rumah. Rumah orang yang berdzikir kepada Allah adalah rumah manusia hidup, dan rumah orang yang tidak berdzikir adalah seperti rumah orang mati, atau kuburan.

Seorang mu’min yang senantiasa mengajak orang lain untuk kembali kepada Allah, akan sangat memerlukan porsi dzikrullah yang melebihi daripada porsi seorang muslim biasa. Karena pada hakekatnya, ia ingin kembali menghidupkan hati mereka yang telah mati. Namun bagaimana mungkin ia dapat mengemban amanah tersebut, manakala hatinya sendiri redup remang-remang, atau bahkan juga turut mati dan porak poranda.

URGENSI DZIKIR DALAM KEBERSIHAN HATI SEORANG DA’I

Dari sini dapat diambil satu kesimpulan bahwa tidak mungkin memisahkan dzikir dengan hati. Karena pemisahan seperti ini pada hakekatnya sama seperti pemisahan ruh dan jasad dalam diri insan. Seorang manusia sudah bukan manusia lagi manakala ruhnya sudah hengkang dari jasadnya. Dengan dzikir ini pulalah, Allah gambarkan dalam Al-Qur’an, bahwa hati dapat menjadi tenang dan tentram (13:28)

الذِّيْنَ آمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah bahwa hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang."

Ketenangan bukanlah sebuah kata yang tiada makna dan hampa. Namun ketenangan memiliki dimensi yang sangat luas, yaitu mencakup kebahagian di dunia dan di akhirat. Allah SWT ketika memanggil seorang hamba untuk kembali ke haribaan-Nya guna mendapatkan keridhaan-Nya, menggunakan istilah ini:

"Wahai jiwa-jiwa yang tenang. Kembalilah kamu pada Rabmu dalam kondisi ridha dan diridhai. Maka masuklah kamu dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah kamu dalam surga-Ku." (Al-Fajr, 27-30)

Ketenagan hati juga berkaitan erat dengan kebersihan hati. Hati yang tidak bersih, tidak dapat menjadikan diri insan menjadi tenang. Bahkan penulis melihat bahwa kebersihan hatilah yang menjadi pondasi tegaknya bangunan ketenangan hati. Dan disinilah dzikir dapat mengantisipasi hati menjadi bersih, sebagaimana dzikir juga dapat menjadikan hati menjadi tenang. Dan ini pulalah letak urgensitas dzikir dalam hati seorang da’i.

Adalah suatu hal yang teramat tabu bagi seorang da’i, meninggalkan dzikir dalam setiap detik yang dilaluinya. Karena dzikir memiliki banyak keistimewaan yang teramat penting guna menjadi bekalan da’wah yang akan mereka lalui. Salah seorang salafuna saleh ada yang mengatakan, "Lisan yang tidak berdzikir adalah seperti mata yang buta, seperti telinga yang tuli dan seperti tangan yang lumpuh. Hati merupakan pintu besar Allah yang senantiasa terbuka antara hamba dan Rabnya, selama hamba tersebut tidak menguncinya sendiri." Adalah Syekh Hasan al-Basri, mengungkapkan dalam sebuah kata mutiara yang sangat indah:

تَفَقَّدُوْا الْحَلاَوَةَ فيِ ثَلاَثَةِ أَشْيَاءٍ : فِي الصَّلاَةِ، وَفِي الذِّكْرِ وَفِي قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، فَإِنْ وَجَدْتُمْ… وَإِلاَّ فَاعْلَمُوْا أَنَّ اْلبَابَ مُغْلَقٌ

"Raihlah keindahan dalam tiga hal; dalam shalat, dalam dzikir dan dalam tilawatul Qur’an, dan kalian akan mendapatkannya… Jika tidak maka ketahuilah, bahwa pintu telah tertutup."

Inilah pentingnya dzikir bagi kebersihan hati seorang da’i. Dengan dzikir, seorang hamba akan mampu menundukkan syaitan, sebagaimana syaitan menundukkan manusia yang lupa dan lalai. Dengan dzikir pulalah, amal shaleh menjadi hidup. Dan tanpa dzikir, amal shaleh seperti jasad yang tidak memiliki ruh. Akankan aktifitas da’wah yang dilakukan da’i menjadi seperti jasad tanpa ruh?

DZIKIR ANTARA HATI DAN LISAN

Dzikir merupakan ibadah hati dan lisan, yang tidak mengenal batasan waktu. Bahkan Allah menyifati ulil albab, adalah mereka-mereka yang senantiasa menyebut Rabnya, baik dalam keadaan berdiri, duduk bahkan juga berbaring. Oleh karenanya dzikir bukan hanya ibadah yang bersifat lisaniah, namun juga qolbiah. Imam Nawawi menyatakan bahwa yang afdhal adalah dilakukan bersamaan di lisan dan di hati. Sekiranyapun harus salah satunya, maka dzikir hatilah yang lebih afdhal. Meskipun demikian, menghadirkan maknanya dalam hati, memahami maksudnya merupakan suatu hal yang harus diupayakan dalam dzikir. Imam Nawawi menyatakan:

المُرَادُ مِنَ الذِّكْرِ حُضُوْرُ الْقَلْبِ ، فَيَنْبَغِيْ أَنْ يَكُوْنَ هُوَ مَقْصُوْدُ الذَّاِكرِ فَيَحْرُصُ عَلَى تَحْصِيْلِهِ ، وَيَتَدَبَّرَ مَا يَذْكُرُهُ ، وَيَتَعَقَّلَ مَعْنَاهُ..

"Yang dimaksud dengan dzikir adalah menghadirkan hati. Seyogyanya hal ini menjadi tujuan dzikir, hingga seseorang berusaha merealisasikannya dengan mentadaburi apa yang didzikirkan dan memahmi makna yang dikandungnya.."

Dari sinilah muncul perbedaan pendapat mengenai dzikir dengan suara keras, atau dengan suara pelan. Masing-masing dari kedua pendapat ini memiliki dalil yang kuat. Dan cukuplah untuk menegahi hal ini, firman Allah dalam sebuah ayat:

قُلِ ادْعُوْا اللهَ أَوِ ادْعُوْا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوْا فَلَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيْلاً

"Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" (Al-Isra’, 17:110)
Meskipun teks ayat di atas dimaksudkan pada bacaan shalat, namun ada juga riwayat lain yang menunjukkan bahwa dzikir dan doa juga termasuk yang dimaksudkannya juga.

قال ابن جرير: حدثنا يعقوب حدثنا ابن علية عن سلمة بن علقمة عن محمد بن سيرين قال: نبئت أن أبا بكر كان إذا صلى فقرأ خفض صوته وأن عمر كان يرفع صوته فقيل لأبي بكر لم تصنع هذا؟ قال أناجي ربي عز وجل وقد علم حاجتي فقيل أحسنت. وقيل لعمر لم تصنع هذا؟ قال أطرد الشيطان وأوقظ الوسنان قيل أحسنت فلما نزلت "ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها وابتغ بين ذلك سبيلا" قيل لأبي بكر ارفع شيئا وقيل لعمر اخفض شيئا

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Sirin, "bahwa Abu Bakar senantiasa mengecilkan suaranya dalam shalat, sedangkan Umar mengeraskan suaranya. Hingga suatu ketika Abu Bakar ditanya mengenai pelannya suara, beliau menjawab, "Aku bermunajat kepada Rabku, dan Allah telah mengetahui keperluanku." Sementara Umar menjawab, "Aku mengeraskannya untuk mengusir syaitan dan menghancurkan berhala." Maka tatkala turun ayat ini, dikatakan kepada Abu Bakar agar mengeraskan sedikit suaranya dan kepada Umar agar dikecilkan sedikit suaranya."

وَقَالَ أَشْعَثُ بْنُ سِوَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: نَزَلَتْ فِي الدُّعَاءِ وَهَكَذَا رَوَى الثَّوْرِيُّ وَمَالِكٌ عَنْ هِشَامٍ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أََبِيْهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي الدُّعَاءِ

“Asy’ast berkata dari Ikrimah dari ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun pada permasalahan doa. Demikian juga Imam Sufyan al-Tsauri dan Malik meriwyatkan dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah ra, bahwa ayat ini turun pada permasalahan doa.”
Dan doa merupakan bagian dari dzikir. Kemudian terlepas dari "jahr" dan "sir", yang paling penting adalah bagaimana hati dan lisan tidak pernah kering dari dzikrullah.

KEUTAMAAN HALAQOTU DZIKR

Selain dapat dilakukan secara "sirr" maupun "jahr", dzikir pun dapat dilakukan secara fardi dan jama’i. Rasulullah SAW juga menjelaskan mengenai keutamaan dzikir secara jama’i, yang dilakukan dalam halaqoh-halaqoh dzikir. Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin juga mencantumkan bab khusus tentang keutamaan halaqoh dzikir (Bab ke 247), sebagaimana Imam Muslim juga mencantumkan dalam Shahehnya bab fadhl Majalis Dzikr. Bahkan jika diperhatikan dan ditadaburi, dalam Al-Qur’an pun Allah secara tersirat memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa komitmen dengan halaqoh dzikir:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِّيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بْالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabnya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengkuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (Al-Kahfi, 18:28)

 Adapun dalam hadits, terdapat beberapa riwayat yang mengungkapkan keutamaan majalis dzikr, diantaranya adalah:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ ،قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ"

"Dari Abu Sa’id al-Khudzri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah sekelompok orang duduk dan berdzikir kepada Allah, melainkan mereka akan dikelilingi para malaikat, mendapatkan limpahan rahmat, diberikan ketenangan hati, dan Allah pun akan memuji mereka pada orang yang ada di dekat-Nya." (HR. Muslim)
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW mengatakan:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ :سَيَعْلَمُ أَهْلُ الْجَمْعِ مِنْ أَهْلِ الْكِرَمِ، فَقِيْلَ مَنْ أَهْلُ الْكِرَمِ يَا رَسُوْلُ اللهِ؟، قَالَ مَجَالِسُ الذِّكْرِ فِيْ الْمَسَاجِدِ. (رواه أحمد)

"Dari Abu Sa’id al-Khudzri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT berfirman pada hari kiamat, ‘orang-orang yang berkumpul akan mengetahui siapakah mereka yang termasuk ahlul karam (orang yang mulia)’, seorang sahabat bertanya, siapakah ahlul kiram ya Rasulullah SAW?, beliau menjawab, "majlis-majlis dzikir di masid-masjid." (HR. Ahmad)
Dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا وَمَا رِياَضُ الْجَنَّةِ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟،قَالَ حَلَقُ الذِّكْرِ، فَإِنَّ لِلَّهِ تَعَالىَ سَيَّارَاتٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ يَطْلُبُوْنَ حَلَقَ الذِّكْرِ ، فَإِذَا أَتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوْا بِهِمْ. (رواه أحمد والترمذي والبيهقي)

Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda, "Apabila kalian melalui taman-taman surga, maka kelilingilah ia." Sahabat bertanya, "apakah taman-taman surga wahai Rasulullah SAW?", beliau menjawab, "yaitu halaqoh-halaqoh dzikir, karena sesungguhnya Allah memiliki pasukan-pasukan dari malaikat, yangmencari halaqoh-halaqoh dzikir, yang apabila mereka menjumpainya, mareka akan mengelilinginya." (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Baihaqi)

MENTADABURI AYAT-AYAT DZIKIR

Setidaknya terdapat sepuluh gambaran, yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an, dengan kaitannya pada penyebutan dzikir. Kesepuluh hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sebagai perintah, sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat AL-Ahzab 41-44:

ياأيها الذين ءامنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا. وسبحوه بكرة وأصيلا. هو الذي يصلي عليكم وملائكته ليخرجكم من الظلمات إلى النور وكان بالمؤمنين رحيما. تحيتهم يوم يلقونه سلام وأعد لهم أجرا كريما

"Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman. Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mu’min itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: "salam"; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka." (Al-Ahzab, 33:41-44)

2. Larangan melupakan dzikir; sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Al’A'raf 204:

(ولا تكن من الغافلين)

"Dan janganlah kamu termasuk golongan mereka-mereka yang melupkan Allah (tidak berdzikir)" (Al-A’raf, 7:204) Kemudian juga dalam surat Al-Hasyr, 59:19 :

(ولا تكون كالذين نسوا الله فأنساهم أنفسهم، أولئك هم الفاسقون)

"Dan janganlah kamu menjadi termasuk orang-orang yang melupakan Allah, maka Allah pun akan melupakan mereka."

3. Mendapatkan pujian dan surga bagi para pendzikir..Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Ahzab, 33:35:

إن المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات والقانتين والقانتات والصادقين والصادقات والصابرين والصابرات والخاشعين والخاشعات والمتصدقين والمتصدقات والصائمين والصائمات والحافظين فروجهم والحافظات والذاكرين الله كثيرا والذاكرات أعد الله لهم مغفرة وأجرا عظيما

"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar."

4. Memiliki kaitan erat dengan kemenangan.Sebagaimanayang Allah firmankan dalam surat al-Anfal, 8:45 :

(واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون)
"..Dan berdzikirlah kalaian yang banyak kepada Allah, semoga kalian beruntung."

5. Kerugian orang yang lalai berdzikir. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat Al-Munafiqun, 63:9 :

(يا أيها الذين آمنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذكر الله ومن يفعل ذلك فأولئك هم الخاسرون)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi."

6. Allah menyebut mereka-mereka yang menyebut-Nya. Sebagaimana yang Allah firmankan dalam surat al-Baqarah, 2: 152 :

(فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون)
"Maka sebutlah Aku, niscaya Aku akan menyebut kalian, dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kufur."

7. Dzikir sebagai suatu hal yang teramat besar. Sebagaimana yang Allah firmankan dalamn surat Al-Ankabut, 29:45:
(ولذكر الله أكبر)
"Dan sesungguhnya mengingat Allah itu lebih besar (dari pada ibadah-ibadah lain)

8. Sebagai khatimah setiap amal shaleh. Sebagaimana yang Allah gambarkan sebagai penutup ibadah shalat, (Al-Jum’ah, 62:10):

فإذا قضيت الصلاة فانتشروا في الأرض وابتغوا من فضل الله واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون
"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."

9. Hanya orang-orang yang berdzikirlah, yang dapat mengambil faedah ayat-ayat Allah. Sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Ali Imran, 3: 190-191:

إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب. الذين يذكرون الله قياما وقعودا 
وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."

10. Allah menggandengkan dzikir dengan amalan-amalan shaleh lainnya, seperti dengan jihad. Sebagaimana yang Allah gambarkan dalam surat Al-Anfal, 8: 45:

(يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم فئة فاثبتوا واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون)

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung."

JALAN MENUJU DZIKIR YANG SHAHIH

Tinggallah sekarang memahami bagaimana dzikir yang benar. Dzikir yang benar adalah dzikir yang ikhlas hanya mengharapkan ridha Allah semata. Bahkan keikhlasan ini juga sampai pada derajat, tidak boleh meninggalkannya karena takut riya’. Karena meninggalkan pekerjaan karena takut riya’ adalah riya’, sebagaimana dikemukakan Fudhail bin Iyadh:

قَالَ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، "تَرْكُ الْعَمَلَ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ، وَالْعَمَلُ لأَجْلِ النَّاسِ شِرْكُ، وَاْلإِخْلاَصُ أَنْ يُعَافِيْكَ اللهُ مِنْهُمَا

Fudahil bin Iyadh mengatakan, "Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’, dan beramal karena manusia adalah syirik. Adapun ikhlas adalah Allah melepaskanmu dari kedua hal di atas.

Selain keikhlasan, tentu saja dibutuhkan kesesuaian dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW. Doa dan dzikir yang ma’tsur lebih utama dari doa yang tidak ma’tsur. Meskipun demikian, segala bentuk dzikir yang memuji Allah, memohon ampunannya atau bentuk-bentuk lainnya adalah dapat dilakukan, kendatipun tidak menggunakan lafal bahasa Arab sekalipun. Hal yang terpenting adalah agar senantiasa berdzikir dalam segala waktu dan kondisi. Di rumah, di masjid, di kendaraan, di jalanan, di tempat kerja, terlebih-lebih di medan da’wah..

Dua hal di atas merupakan hal yang paling pokok dalam melakukan dzikir. Dalam Al-Adzkar, Imam Nawawi menyarankan agar orang yang seyogyanya memperhatikan adab-adab dalam melakukan dzikir. Terutama ketika seseorang sedang berada dalam rumahnya, atau di suatu tempat yang layak. Diantara adab-adab tersebut adalah: hendaknya menghadap kiblat, posisi duduk yang menggambarkan kekhusyu’an dan ketakutan kepada Allah, menundukkan kepala, kemudian tempat yang digunakan untuk berdzikir hendaknya bersih dan sunyi, lebih afdhal juga jika seseorang dalam keadaan suci. Adapun jika berada pada suasana diluar masjid dan rumah, maka paling tidak keikhlasan, dan ketundukkan diri pada Allah SWT.

Dzikir adalah suatu hal yang paling indah dalam kehidupan fana ini. Oleh karenanya, sesungguhnya tidak ada alasan apapun, yang membolehkan seorang muslim meninggalkan dzikir. Justru semakin seorang muslim tenggelam dalam kelezatan dzikir, semakin pula ia rindu dan rindu pada Dzat yang di sebutnya dalam dzikirnya. Dan jika seorang hamba rindu pada Khlaiqnya, maka Sang Khaliq pun akan rindu padanya. Rasulullah SAW mengatakan, "barang siapa yang merindukan pertemuan dengan Allah, maka Allahpun merindukan pertemuan dengan-Nya… Ya Allah, jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang senantiasa Engkau rindukan… Amiiin.


Bahaya Ribah

Bahaya Riba

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)
Sekilas Tentang Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang disepakati kesahihannya oleh para ulama hadits. Diriwayatkan oleh banyak Imam hadits, diantaranya :
  • Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqat, Bab La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2995.
  • Imam Ahmad bin Hambal ra, dalam Musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits no 13744.
Selain itu, hadits ini juga memiliki syahid (hadits yang sama yang diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda), diantaranya dari jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan oleh :
  • Imam Turmudzi dalam Jami’nya, Kitab Buyu’ An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits no 1127.
  • Imam Nasa’I dalam Sunannya, Kitab At-Thalaq, Bab Ihlal Al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yuhilluha Bihi, Hadits no. 3363.
  • Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no. 2895.
  • Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya di banyak tempat, diantaranya pada hadits-hadits no 3539, 3550, 3618, 4058, 4059, 4099, 4171 dsb.
  •   mam Ad-Darimi dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2423.
  • Makna Hadits Secara Umum
Hadits yang sangat singkat di atas, menggambarkan mengenai bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahayanya riba, sehingga digambarkan bahwa Rasululla SAW melaknat seluruh pelaku riba. Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun saksi-saksinya. Dan keesemua golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW; “Mereka semua adalah sama.”
Pelaknatan Rasulullah SAW terhadap para pelaku riba menggabarkan betapa munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat suatu keburukan, melainkan keburukan tersebut membawa kemadharatan yang luar biasa, baik dalam skala indiividu bagi para pelakunya, maupun dalam skala mujtama’ (baca ; maysarakat) secara luas.
Oleh karenanya, setiap muslim wajib menghindarkan dirinya dari praktek riba dalam segenap aspek kehidupannya. Dan bukankah salah satu sifat (baca ; muwashofat) yang harus dimiliki oleh setiap aktivis da’wah adalah “memerangi riba”? Namun realitasnya, justru tidak sedikit yang justru menyandarkan kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.
Makna Riba
Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam dalam mendefinisikan riba.
  • efinsi yang sederhana dari riba adalah ; pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).
  • Definisi lainnya dari riba adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Intinya adalah, bahwa riba merupakan segala bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah. Bisa melalui “bunga” dalam hutang piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya. Dan riba dapat tejadi dalam semua jenis transaksi maliyah.
Pada masa jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang, yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.
Pinjam meminjam uang terjadi untuk produktifitas perdatangan mereka. Namun uniknya, transaksi pinjam meminjam tersebut baru dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba jahiliyah.
Riba Merupakan Dosa Besar
Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang wajib dihindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba. Seorang muslim yang hanif akan merasakan jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih rabbani mengenai pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena begitu buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.
Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Dalam hadits, Rasulullah SAW juga mengemukakan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).
Periodisasi Pengharaman Riba
Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama dengan tahapisasi pengharaman khamar:
1. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan harta.
Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.
Pematahan paradigma mereka ini Allah gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; “Dan sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
2. Tapap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu.
Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.
Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS 4 : 160 – 161 : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang bathil. Kami telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.
3. Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda.
Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.
Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berifirman (QS. 3:130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
4. Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.
Allah SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alla hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Buruknya Muamalah Ribawiyah
Terlalu banyak sesungguhnya dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang buruknya riba, berikut adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai riba :
  1. Orang yang memakan riba, diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2 : 275).
  2. Pemakan riba, akan kekal berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).
  3. Orang yang “kekeh” dalam bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 : 278 – 279).
  4. Seluruh pemain riba; kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)
  5. Suatu kaum yang dengan jelas “menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan (melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina, melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.” (HR. Ibnu Majah)
  6. Dosa memakan riba (dan ia tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
  7. Bahwa tingkatan riba yang paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).
Dengan dalil-dalil sebagaimana di atas, masihkah ada seorang muslim yang “kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam kehidupannya?
Praktik Riba Dalam Kehidupan
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa riba adalah segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah. Praktek seperti ini dapat terjadi dihampir seluruh muamalah maliyah kontemporer, diantaranya adalah pada :
1. Transaksi Perbankan.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa basis yang digunakan dalam praktek perbankan (konvensional) adalah menggunakan basis bunga (interest based). Dimana salah satu pihak (nasabah), bertindak sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memperdulikan, apakah usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.
Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip dengan praktek riba jahiliyah pada masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan, bunga telah ditetapkan sejak pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran, jika banyak ulama yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini, lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.
Selain terjadi pada aspek pembiyaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank, sebagai kompensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun kerugian. Berbeda dengan sistem syariah, di mana bank syariah tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu prosentasi yang akan dibagikan dari keuntungan yang didapatkan oleh bank). Sehingga return yang didapatkan nasabah bisa naik turun, sesuai dengan naik turunnya keutungan bank. Istilah seperti inilah yang kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi hasil.
2. Transaksi Asuransi.
Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional) terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak sama. Sebagai contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya dengan premi satu juta rupiah pertahun. Pada tahun ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga 100 juta rupiah. Dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harga mobilnya yang telah hilang, yaitu 100 juta rupiah. Padahal jika diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3 juta rupiah. Jadi dari mana 97 juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97 juta rupiah yang ia terima masuk dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).
Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah (kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba nasi’ah. Hampir semua ulama sepekat, mengenai haramnya asuransi (konvensional) ini. Diantara yang mengaramkannya adalah Sayid Sabiq dan juga Sheikh Yusuf Al-Qardhawi. Oleh karenanya, dibuatlah solusi berasuransi yang selaras dengan syariah Islam. Karena sistem asuransi merupakan dharurah ijtima’iyah (kebutuhan sosial), yang sangat urgen.
3. Transaksi Jual Beli Secara Kredit.
Jual beli kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu pada “bunga” yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfruktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan harga belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman). Sementara sebenarnya dalam syariah Islam, dalam jual beli harus ada “kepastian” harga, antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang diperjual belikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan” pembayaran di tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau oleh daeler dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai “sewa” terhadap barang tersebut.
Belum lagi komposisi pembayaran cicilah yang dibayarkan, sering kali di sana tidak jelas, berapa harga pokoknya dan berapa juga bunganya. Seringkali pembayaran cicilan pada tahun-tahun awal, bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dibayarkan. Akhirnya pembeli kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini tentunya berbeda dengan sistem jual beli kredit secara syariah. Dimana komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami perubahan sebagaimana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas, jika terjadi kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual maupun pembeli.
Masih banyak sesungguhnya transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi di tengah-tengah kehidupan kita. Intinya adalah kita harus waspada dan menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari muamalah seperti ini. Cukuplah nasehat rabbani dari Allah SWT kepada kita “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)
Wallahu A’lam Bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.


DALIL DALIL TENTANG AKIDAH

DALIL DALIL TENTANG AKIDAH

DI_

S
U
S
U
N

OLEH:
       Kahar Musakkar

JURUSAN PERBANDINGAN MASHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2014/2015



PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas Rahmat dan Hidayahnya semoga kita semua dalam keadaan sehat walafiat tak kurang suatu apa dan sukses dalam aktifitas sehari harinya, amin.

Makalah ini dapat tersusun untuk memenuhi materi kuliah dan tugas mata kuliah Studi Akiadah akhlak yang di berikan oleh Irfan S.Ag, M.Ag

Tersusunya makalah ini, bagi penulis merupakan suatu kepuasan tersendiri, karena dengan tersusunya makalah ini penulis menjadi giat membaca dan belajar sekuat tenaga maupun fikiran untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam, khususnya dalam memahami persoalan Akidah yang saat ini begitu banyaknya hadist dhoif yang berkembang di tengah tengah Masyarakat kita. Dengan memahami kriteria hadist melalui berbagai sumber maka diharapkan kita khususnya penulis dapat mengambil hikmah dan menjalankan amalan amalan yang benar benar hadist Nabi Muhammad SAW.

Penulis menyadari bahwa uraian makalah ini masih jauh dari harapan dan penulis berharap adanya koreksi dan penilaian dari Bapak Irfan S.Ag, M.Ag, selaku Dosen dan berharap mendapatkan nilai yang terbaik, amin.




                                                                                                Penyusun…









DAFTAR ISI
Halaman Sampul……………………………………………………………………………....... 1
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………. 2
Daftar Isi………………………………………………………………………………………….3
BAB I.  PENDAHULUAN………………………………………………………..4
A.   Latar Belakang………………………………………………………………4
B.   Rumusan Masalah…………………………………………………………...4
C.   Tujuan Masalah……………………………………………………………...4

BAB II.  PEMBAHASAN………………………………………………………. .5
A.    Pengertian Dan Landasan Aqidah………………………………………….5
B.   Ruang Lingkup, Kaidah, Fungsi Serta Manfaat Aqidah Islam…………11

BAB III. PENUTUP……………………………………………………………16
A.   Kesimpulan………………………………………………………………..16
B.   Daftar Pustaka……………………………………………………………17







BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Aqidah adalah pokok-pokok keimanan yang telah ditetapkan oleh Allah, dan kita sebagai manusia wajib meyakininya sehingga kita layak disebut sebagai orang yang beriman (mu’min). Namun bukan berarti bahwa keimanan itu ditanamkan dalam diri seseorang secara dogmatis, sebab proses keimanan harus disertai dalil-dalil aqli. Akan tetapi, karena akal manusia terbatas maka tidak semua hal yang harus diimani dapabt diindra dan dijangkau oleh akal manusiaPara ulama sepakat bahwa dalil-dalil aqli yang haq dapat menghasilkan keyakinan dan keimanan yang kokoh. Sedangkan dalil-dalil naqli yang dapat memberikan keimanan yang diharapkan hanyalah dalil-dalil yang qath’i. Makalah kecil ini menampilkan beberapa bahasan yang bisa membantu siapa saja yang ingin memahami aqidah.
2. RUMUSAN MASALAH
1.  Apa aqidah itu?
2.  Apa landasan filosofis dan religiusnya?
3.  Apa saja ruang lingkup aqidah?
4.  Apa kaidah dari aqidah?
5.  Apa fungsi aqidah?
3. Tujuan Makalah
1. Menjelaskan pengertian aqidah
2. Menjelaskan landasan filosofis dan religiusnya
3. Menerangkan tentang ruang lingkup aqidah
4. Memaparkan delapan kaidah aqidah
5. Menyampaikan fungsi utama aqidah

BAB II
PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN DAN LANDASAN AQIDAH
1.  Pengertian Aqidah Islam
Secara etimologi (lughatan), aqidah berakar dari kata ‘aqada - ya’qidu - ‘aqdan yang berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata aqdan dan aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.
            Secara terminologis (isthilahan), terdapat beberapa definisi (ta’rif) antara lain:
a.       Menurut Hasan al-Banna:
العقائد هي الأمور التى يجب أن يصدق بها قلبك وتطمئن اليها نفسك وتكون يقينا عندك لا يمازجه ريب ولايخالطه شك
“Aqidah adalah beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”
b.      Munurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy:
العقيدة هي مجموعة من قضايا الحق البدهية المسلمة بالعقل, والسمع والفطرة, يعقد عليها الإنسان قلبه, ويثنى عليها صدره جازما بصحتها, قاطعا بوجودها وثبوتها لايرى خلافها أنه يصح أو يكون أبدا
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran) itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta diyakini kesahihan dan kebenarannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”

Untuk lebih memahami kedua definisi di atas maka perlu dikemukakan beberapa catatan tambahan:
1.           Ilmu terbagi dua: pertama ilmu dharuri, kedua ilmu nazhari. Ilmu yang dihasilkan oleh indera, dan tidak memerlukan dalil disebut ilmu dharuri. Misalnya anda melihat meja di hadapan mata, anda tidak lagi memerlukan dalil atau bukti bahwa benda itu ada. Sedangkan ilmu yang memerlukan dalil atau pembuktian itu disebut ilmu nazhari. Misalnya 1+1=2, tentu perlu dalil untuk orang yang belum tahu teori itu. Di antara ilmunazhari itu, ada hal-hal yang karena sudah sangat umum dan terkenal maka tidak memerlukan lagi adanya dalil, misalnya sepeda bannya ada dua sedangkan mobil bannya ada empat, tanpa dalil siapapun pasti mengetahui hal tersebut. Hal inilah yang disebutbadihiyah. Badihiyah adalah segala sesuatu yang kebenarannya perlu dalil pembuktian, tetapi karena sudah sangat umum dan mendarah daging maka kebenaran itu tidak perlu pembuktian lagi.
2.           Setiap manusia memiliki fithrah mengakui kebenaran (bertuhan), indera untuk mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan memerlukan wahyu untuk menjadi pedoman menentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Tentang Tuhan, misalnya, setiap manusia memiliki fithrah bertuhan, dengan indera dan akal dia bisa buktikan adanya Tuhan, tapi hanya wahyulah yang menunjukkan kepadanya siapa Tuhan yang sebenernya.
3.           Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Sebelum seseorang sampai ke tingkat yakin dia akan mengalami lebih dahulu Syak (50%-50% antara membenarkan dan menolak), kemudian Zhan (salah satu lebih kuat sedikit dari yang lainnya karena ada dalil yang menguatkan), kemudian Ghalabatuz Zhan (cenderung menguatkan salah satu karena dalilnya lebih kuat, tapi masih belum bisa menghasilkan keyakinan penuh), kemudian Ilmu/Yakin (menerima salah satu dengan sepenuh hati karena sudah meyakini dalil kebenarannya). Keyakinan yang sudah sampai ke ringkat ilmu inilah yang disebut aqidah.
4.           Aqidah harus mendatangkan ketenteraman jiwa. Artinya lahiriyah seseorang bisa saja pura-pura meyakini sesuatu, akan tetapi hal itu tidak akan mendatangkan ketenangan jiwa karena dia harus melaksanakan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinannya. Kawin paksa misalnya, hidup satu rumah dengan orang yang tidak pernah dia sukai, secara lahiriyah hubungan mereka telah sukses karena berakhir dipelaminan namun jiwa mereka tidaklah tenteram seperti kelihatan.
5.           Bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan. Misalnya ada meyakini gula itu rasanya manis, tentunya anda akan menolak untuk meyakini bahwa gula itu rasanya asin, tidak mungkin anda yakin bahwa gula itu rasanya manis dan asin.
6.           Tingkat keyakinan (aqidah) seseorang tergantung kepada tingkat pemahamannya terhadap dalil. Misalnya:
a.       Anda akan meyakini adanya beasiswa bila anda mendapatkan informasi tentang beasiswa tersebut dari orang yang anda kenal tidak pernah berbohong.
b.      Keyakinan itu akan bertambah apabila anda mendapatkan informasi yang sama dari beberapa orang lain, namun tidak menutup kemungkinan bahwa anda akan meragukan kebenaran informasi itu apabila ada syubuhat (dalil dalil yang menolak informasi tersebut).
c.       Bila anda melihat pengumuman beasiswa di fakultas maka bertambahlah keyakinan anda sehingga kemungkinan untuk ragu semakin kecil
d.      Apabila anda diberi formulir pengajuan beasiswa maka keyakinan anda semakin bertambah dan segala keraguan akan hilang bahkan anda tidak mungkin ragu lagi bahkan anda tidak akan merubah pendirian anda sekalipun semua orang menolaknya.
e.       Ketika anda bolak balik mengurus segala yang terkait dengan beasiswa maka bertambahlah pengetahuan dan pengalaman anda tentang beasiswa yang diyakini tadi.



2. Landasan Filosofis Aqidah Islam
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah.  Allah mengutus (Rasul) yang membawa pesan dari-Nya untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Pesan Allah itu ditulis dalam Al-Kitab (Al-Qur’an). Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat dan berhati-hati. Yang menerima hikmah-hikmai inilah yang disebut “Hukuman” atau “Filosof”.
Berikut beberapa pendapat para filosof barat tentang Tuhan:
a.       Pendapat Xenophanes
Xenophanes menyatakan: “Tuhan hanya satu, yang terbesar di antara dewa dan manusia, tidak serupa dengan makhluk yang fana.”
“Tuhan Yang Esa itu tidak dijadikan tidak bergerak dan berubah-ubah, dan ia mengisi seluruh alam. Dia melihat semuanya, mendengar semua dan memikirkan seluruhnya. Mudah sekali Ia memimpin alam ini dengan kakuatan fikirNya.”
b.      Pendapat Socrates
Socrates menyatakan: “Tuhan pencipta ala mini bukanlah hanya untuk memikirkan dan memperhatikan manusia saja, tapi ialah roh bagi manusia. Jika tidak begitu cobalah sebutkan padaku, hewan manakah yang dapat mengetahui adanya Tuhan yang mengatur susunan tubuh yang mempunyai sifat-sifat tinggi seperti ini! Coba katakana hewan mana selain manusia yang dapat dibawa akalnya menyembah dan berkhidmah kepada Tuhan?”
c.       Pendapat Descartes
Descartes menyatakan: “Saya tidak menjadikan diri saya sendiri. Sebab kalau saya menjadikan, tentulah saya dapat memberikan segala sifat kesempurnaan kepada diri saya itu. Oleh sebab itu tentu saya dijadikan oleh Dzat yang lain. Dan sudah pasti pula Dzat lain itu menjadikan saya mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, kalau tidak akan sama halnya dengan diri saya.”
“Saya selalu merasa diri saya dalam kekurangan, dan pada waktu itu juga diri saya merasa tentu ada Dzat yang tidak kekurangan, yakni sempurna. Dan Dzat yang sempurna itu ialah Allah”
3. Landasan Religius Aqidah Islam
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Sunnahnya wajib diimani (diyakini dan diamalkan).
 pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba –kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas. Misalkan, saat ditanya, kekal [sesuatu yang tidak terbatas] itu sampai kapan?, maka akal tidak akan mampu menjawabnya karena akal itu terbatas.
            Aqidah itu mempunyai sifat keyakinan dan kepastian sehingga tidak mungkin ada peluang bagi seseorang untuk meragukannya. Dan untuk mencapai tingkat keyakinan ini, aqidah Islam wajiblah bersumber pada dua warisan tersebut [Al-Qur’an Hadits] yang tidak ada keraguan sedikit pun padanya. Dan akal bukanlah bagian dari sumber yang tidak ada keraguan padanya.
Dengan kata lain, untuk menjadi sumber aqidah, maka asal dan indikasinya haruslah pasti dan meyakinkan, tidak mengandung sedikut pun keraguan. Jika kita memandang Al-Qur’an dari segi wurud, maka ia adalah pasti lagi meyakinkan karena telah ditulis selagi Rasulullah masih hidup dan juga dihafal serta sejumlah besar sehabat yang mustahil mereka sepakat berdusta untuk memalsukannya. Dan juga karena itu, tidak pernah timbul perselisihan tentang kesahihan Al-Qur’an di kalangan umat Islam sejak dahulu hingga sekarang. Tidak pernah ada yang berbeda pendapat bahwa Tuhan itu ada, bahwa Tuhan itu satu, bahwa Tuhan itu mahakuasa.
            Aqidah atau iman itu mempunyai peran dan pengaruh dalam hati. Ia mendorong manusia untuk melakukan amal-amal yang baik dan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Ia mengawal dan membimbing manusia ke jalan yang lurus dan benar serta menjaganya untuk tidak tergelincir ke dalam lembah kesesatan; dan juga menanamkan dalam dirinya kecintaan kepada kebenaran dan kebaikan. Sesungguhnya hidayah Allah hanya diberikan kepada manusia yang hatinya telah dimasuki iman.
            Allah berfirman dalam Surat al-Taghabun/64:11 :
. . . ومن يؤمن بالله يهد قلبه . . .(التغابن 11)
“Dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberi hidayah kepada hatinya.”
Pada hakikatnya, iman yang dalam hati itu atau aqidah ibarat nur atau cahaya yang menerangi hati dan sangat diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya di dunia. Tanpa cahaya itu hati sangat gelap, sehingga akan sangat mudah orang tergelincir dalam lembah maksiat. Ibarat orang yang berjalan pada waktu malam tanpa lampu atau cahaya, ia akan sangat mudah terperosok ke dalam lobang atau jurang. Demikianlah peranan iman yang merupakan bangunan bawah/fondasi utama dari kepribadian yang kukuh dan selalu mengawal serta membuat hati agar selalu baik dan bersih, sehingga dapat memberi bimbingan bagi manusia ke arah kehidupan yang tenteram dan bahagia.



B. RUANG LINGKUP, KAIDAH, FUNGSI SERTA MANFAAT AQIDAH ISLAM
1.  Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Meminjam sistimatika Hasaln al-Banna maka ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
a.       Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah dan lainnya.
b.      Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk tentang Kitab-Kitab Allah, mu’jizat, karamat dan lain sebagainya.
c.       Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Roh dan lain sebagainya.
d.      Sam’iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewatSam’i (dalil naqli berupa Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.

Di samping sistimatika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistimatika arkanul iman (rukun iman) yaitu:
1.      Iman Kepada Allah SWT.\
2.      Iman Kepada Malaikat (termasuk juga makhluk ruhani lain seperti Jin, Iblis dan Syetan).
3.      Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.
4.      Iman Kepada Nabi dan Rasul.
5.      Iman Kepada Hari Akhir.
6.      Iman Kepada Takdir Allah.


2. Delapan Kaidah Aqidah
a. Apa yang saya dapat dengan indera saya, saya yakin adanya, kecuali bila akal saya mengatakan “tidak”
berdasarkan pengalaman masa lalu. Misalnya, bila saya untuk pertama kali melihat sepotong kayu di dalam gelas berisi air putih kelihatan bengkok, atau melihat genangan air di tengah jalan [fatamorgana], tentu saja saya akan membenarkan hal itu. Tapi bila terbukti kemudian bahwa hasil penglihatan indera saya salah maka untuk kedua kalinya bila saya melihat hal yang sama, akal saya langsung mengatakan bahwa yang saya lihat tidak demikian adanya.
b. Keyakinan, di samping diperoleh dengan menyaksikan langsung, juga bias melalui berita yang diyakini kejujuran si pembawa berita.
Banyak hal yang memang tidak atau belum kita saksikan sendiri tapi kita meyakini adanya. Misalnya anda belum pernah ke Thailand, Afrika atau Yaman, tapi anda meyakini bahwa negeri-negeri tersebut ada. Atau tentang fakta sejarah, tentang Daulah Abbasiyah, Umayyah atau tentang kerajaan Majapahit, dan lain-lain, anda meyakini kenyataan sejarah itu berdasarkan berita yang anda terima dari sumber yang anda percaya.
c. Anda tidak berhak memungkiri wujudnya sesuatu, hanya karena anda tidak bisa menjangkaunya dengan indera anda.
Kemampuan alat indera memang sangat terbatas. Telinga tidak bisa mendengar suara semut dari jarak dekat sekalipun, mata tidak bisa menyaksikan semut dari jarak jauh. Oleh karena itu, seseorang tidak bisa memungkiri wujudnya sesuatu hanya karena inderanya tidak bisa menyaksikannya.



d. Seseorang hanya bisa menghayalkan sesuatu yang sudah pernah dijangkau oleh      inderanya.
Khayal manusiapun terbatas. Anda tidak akan bisa menghayalkan sesuatu yang baru sama sekali. Waktu anda menghayalkan kecantikan seseorang secara fisik, anda akan menggabungkan unsur-unsur kecantikan dari banyak orang yang sudah pernah anda saksikan.
e.        Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dengan ruang dan waktu.
Tatkala mata mengatakan bahwa tiang-tiang listrik berjalan waktu kita menyaksikannya lewat jendela kereta api akal dengan cepat mengoreksinya. Tapi apakah akal bisa memahami dan menjangkau segala sesuatu? Tidak. Karena kemampuan akalpun terbatas. Akal tidak bisa menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.
f.        Iman adalah fithrah setiap manusia.
Setiap manusia memiliki fithrah mengimani adanya Tuhan. Pada saat seseorang kehilangan harapan untuk hidup, padahal dia masih ingin hidup, fithrahnya akan menuntun dia untuk meminta kepada Tuhan. Misalnya bila anda masuk hutan, dan terperosok ke dalam lubang, pada saat anda kehilangan harapan untuk bisa keluar dari lubang tiu, anda akan berbisik “Oh Tuhan!”
g.      Kepuasan materil di dunia sangat terbatas.
Manusia tidak akan pernah puas secara materil. Seorang yang belum punya sepeda ingin punya sepeda. Setelah punya sepeda ingin punya motor dan seterusnya sampai mobil, pesawat, dan lain lain. Bila keinginan tercapai maka akan berubah menjadi sesuatu yang “biasa”, tidak ada rasa kepuasan pada keinginan itu. Selalu saja keinginan manusia itu ingin lebih dari apa yang sudah di dapatnya secara materil. Dan keinginan manusia akan dipuaskan secara hakiki di alam sesudah dunia ini.


h.      Keyakinan tentang hari akhir adalah konsekuensi logis dari keyakinan tentang adanya Allah.
Jika anda beriman kepada Allah, tentu anda beriman dengan segala sifat-sifat Allah, termasuk sifat Allah Maha Adil. Kalau tidak ada kehidupan lain di akhirat, bisakah keadilan Allah itu terlaksana? Bukankah tidak semua penjahat menanggung akibat kejahatannya di dunia ini? Bukankah tidak semua orang yang berbuat baik merasakan hasil kebaikannya?. Bila anda menonton film, ceritanya belum selesai tiba-tiba saja dilayar tertulis kalimat “Tamat”, bagaimana komentar anda? Oleh sebab itu, iman anda dengan Allah menyebabkan anda beriman dengan adanya alam lain sesudah alam dunia ini yaitu Hari Akhir.

3.     Fungsi Aqidah
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan harus semakin kokoh pula fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa fondasi.
Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistimatika Aqidah Ibadah Akhlak dan Mu’amalat, atau Aqidah Syari’ah dan Akhlak, atau Iman Islam dan Ihsan, maka ketiga/keempat aspek tersebut tidak bisa dipisahkan sama sekali. Satu sama lain saling terkait. Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu’amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah swt kalau tidak dilandasi dengan aqidah. Misalnya orang nonmuslim memberi beras kepada seorang yang miskin, amal ibadah orang itu nilainya NOL di hadapan Allah, Allah tidak menerima ibadahnya karena orang itu tidak punya landasan aqidah.
Seseorang bisa saja merekayasa untuk terhindar dari kewajiban formal, misalnya zakat, tapi dia tidak akan bisa menghindar dari aqidah. Misalnya, aqidah mewajibkan orang percaya bahwa Tuhan itu cuma satu yaitu Allah, orang yang menuhankan Allah dan sesuatu yang lain [uang misalnya] maka akan kelihatan nanti, tidak bisa ditutup-tutupi, tidak bisa direkayasa. Entah dari bicaranya yang seolah-olah uang telah membantu hidupnya, tanpa uang dia tidak akan nisa hidup, atau dari perilakunya yang satu minggu sekali datang ke pohon besar dan berdoa disitu.
Itulah sebabnya kenapa Rasulullah SAW selama 13 tahun periode Mekah memusatkan dakwahnya untuk membangun aqidah yang benar dan kokoh. Sehingga bangunan Islam dengan mudah berdiri di periode Madinah. Dalam dunia nyatapun ternyata modal untuk membangun sebuah bangunan itu lebih besar tertanam di fondasi.. Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa..



BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Dalam keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan sebagai fondasi. Di mana seluruh komponen ajaran Islam tegak di atasnya. Aqidah merupakan beberapa prinsip keyakinan. Dengan keyakinan itulah seseorang termotivasi untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Karena sifatnya keyakinan maka materi aqidah sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan oleh Allah Swt. melalui wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad Saw.
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat dan berhati-hati.
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba –kalau diperlukan – membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.




B.     Daftar Pustaka
Drs. H. Yunahar Ilyas,  Lc., Kuliah Aqidah Islam, Yogyakarta, LPPI, 1992.
Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Aqidah Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1997.
Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir, Aqidah al-Mukmin, Cairo, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1978.
Al-Banna Hasan, Majmu’atu ar-Rasail, Muassasah ar-Risalah Beirut, tanpa tahun.
Drs. Edi Suresman, A.Md., Aqidah Islam, Malang, IKIP, 1993.