Bahaya Riba
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ
قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir ra berkata, bahwa
Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya,
penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR.
Muslim)
Sekilas
Tentang Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang
disepakati kesahihannya oleh para ulama hadits. Diriwayatkan oleh banyak Imam
hadits, diantaranya :
- Imam Muslim dalam Shahihnya,
Kitab Al-Musaqat, Bab La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2995.
- Imam Ahmad bin Hambal ra, dalam
Musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits no 13744.
Selain itu, hadits ini juga memiliki
syahid (hadits yang sama yang diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda),
diantaranya dari jalur sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi
Thalib, yang diriwayatkan oleh :
- Imam Turmudzi dalam Jami’nya,
Kitab Buyu’ An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits no 1127.
- Imam Nasa’I dalam Sunannya,
Kitab At-Thalaq, Bab Ihlal Al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi Yuhilluha
Bihi, Hadits no. 3363.
- Imam Abu Daud dalam Sunannya,
Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no. 2895.
- Imam Ahmad bin Hambal dalam
Musnadnya di banyak tempat, diantaranya pada hadits-hadits no 3539, 3550,
3618, 4058, 4059, 4099, 4171 dsb.
- mam Ad-Darimi dalam
Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2423.
- Makna Hadits Secara Umum
Hadits yang sangat singkat di atas,
menggambarkan mengenai bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin.
Begitu buruk dan bahayanya riba, sehingga digambarkan bahwa Rasululla SAW
melaknat seluruh pelaku riba. Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun
saksi-saksinya. Dan keesemua golongan yang terkait dengan riba tersebut
dikatakan oleh Rasulullah SAW; “Mereka semua adalah sama.”
Pelaknatan Rasulullah SAW terhadap
para pelaku riba menggabarkan betapa munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat
Rasulullah SAW tidak pernah melaknat suatu keburukan, melainkan keburukan
tersebut membawa kemadharatan yang luar biasa, baik dalam skala indiividu bagi
para pelakunya, maupun dalam skala mujtama’ (baca ; maysarakat) secara luas.
Oleh karenanya, setiap muslim wajib
menghindarkan dirinya dari praktek riba dalam segenap aspek kehidupannya. Dan
bukankah salah satu sifat (baca ; muwashofat) yang harus dimiliki oleh setiap
aktivis da’wah adalah “memerangi riba”? Namun realitasnya, justru tidak sedikit
yang justru menyandarkan kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.
Makna Riba
Dari segi bahasa, riba berarti
tambahan atau kelebihan. Sedangkan dari segi istilah para ulama beragam dalam
mendefinisikan riba.
- efinsi yang sederhana dari riba
adalah ; pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara bathil.
(baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).
- Definisi lainnya dari riba
adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa
adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Intinya adalah, bahwa riba merupakan
segala bentuk tambahan atau kelebihan yang diperoleh atau didapatkan melalui
transaksi yang tidak dibenarkan secara syariah. Bisa melalui “bunga” dalam
hutang piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama,
dan sebagainya. Dan riba dapat tejadi dalam semua jenis transaksi maliyah.
Pada masa jahiliyah, riba terjadi
dalam pinjam meminjam uang. Karena masyarakat Mekah merupakan masyarakat
pedangang, yang dalam musim-musim tertentu mereka memerlukan modal untuk
dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam
meminjam uang pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
konsumtif.
Pinjam meminjam uang terjadi untuk
produktifitas perdatangan mereka. Namun uniknya, transaksi pinjam meminjam
tersebut baru dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi hutangnya
pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan bila ia dapat melunasinya pada
waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Dan
terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba
jahiliyah.
Riba
Merupakan Dosa Besar
Semua ulama sepakat, bahwa riba
merupakan dosa besar yang wajib dihindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan
Sheikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak
pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba.
Seorang muslim yang hanif akan merasakan jantungnya seolah akan copot manakala
membaca taujih rabbani mengenai pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal
ini karena begitu buruknya amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan
masyarakat.
Dan cukuplah menggambarkan bahaya
dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah 275 :
الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ
الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang memakan (mengambil)
riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Hal itu karena mereka mengatakan,
bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba. Dan Allah menghalalkan jual beli
serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang telah datang padanya peringatan
dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari memakan riba, maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu dan urusannya terserah keapda Allah. Namun barang siapa
yang kembali memakan riba, maka bagi mereka adalah azab neraka dan mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya.
Dalam hadits, Rasulullah SAW juga
mengemukakan :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ
وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
الْغَافِلَاتِ (متفق
عليه)
Dari Abu Hurairah ra, dari
Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan !’ Para
sahabat bertanya, ‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau
menjawab, ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT
kecuali dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari
dari medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan
yang lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).
Periodisasi
Pengharaman Riba
Sebagaimana khamar, riba tidak Allah
haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapisasi yang hampir sama dengan
tahapisasi pengharaman khamar:
1. Tahap
pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan melipatgandakan
harta.
Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.
Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.
Pematahan paradigma mereka ini Allah
gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; “Dan sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya)”.
2. Tapap
kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat terdahulu.
Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.
Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.
Hal ini sebagaimana yang Allah SWT
firmankan dalam QS 4 : 160 – 161 : “Maka disebabkan kezaliman orang-orang
yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia
dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya
mereka telah dialarang dari padanya, dan karena mereka harta dengan cara yang
bathil. Kami telah menyediaka nuntuk orang-orang kafir diantara mereka itu
siksa yang pedih”.
3. Tahap
ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda.
Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.
Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.
Pemahaman seperti ini adalah
pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak dimaksudkan dalam ayat ini. Allah
SWT berifirman (QS. 3:130), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.”
4. Tahap
keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.
Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.
Allah SWT berfirman dalam QS. 2 :
278 – 279 ; “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Alla hdan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan
tidak pula dianiaya.”
Buruknya
Muamalah Ribawiyah
Terlalu banyak sesungguhnya dalil
baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang menggambarkan tentang buruknya riba,
berikut adalah ringkasan dari beberapa dalil mengenai riba :
- Orang yang memakan riba,
diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2
: 275).
- Pemakan riba, akan kekal berada
di dalam neraka. (QS. 2 : 275).
- Orang yang “kekeh” dalam
bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 :
278 – 279).
- Seluruh pemain riba; kreditur,
debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan
mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits
diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba,
yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau
berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)
- Suatu kaum yang dengan jelas
“menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab
dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Mas’ud
ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan
(melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina,
melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.”
(HR. Ibnu Majah)
- Dosa memakan riba (dan ia tahu
bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali
perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah
ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan
oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada
tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
- Bahwa tingkatan riba yang
paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu
kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin
Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga
pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang
lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah
dan Baihaqi).
Dengan dalil-dalil sebagaimana di
atas, masihkah ada seorang muslim yang “kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam
kehidupannya?
Praktik
Riba Dalam Kehidupan
Sebagaimana dijelaskan di atas,
bahwa riba adalah segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa
adanya padanan yang dibenarkan syariah. Praktek seperti ini dapat terjadi
dihampir seluruh muamalah maliyah kontemporer, diantaranya adalah pada :
1.
Transaksi Perbankan.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa
basis yang digunakan dalam praktek perbankan (konvensional) adalah menggunakan
basis bunga (interest based). Dimana salah satu pihak (nasabah), bertindak
sebagai peminjam dan pihak yang lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi
pinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi
dari pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memperdulikan,
apakah usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.
Praktek seperti ini sebenarnya
sangat mirip dengan praktek riba jahiliyah pada masa jahiliyah. Hanya bedanya,
pada riba jahiliyah bunga baru akan dikenakan ketika si peminjam tidak bisa
melunasi hutang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi penambahan
waktu pembayaran. Sedangkan pada praktek perbankan, bunga telah ditetapkan
sejak pertama kali kesepakatan dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana
yang dipinjamnya. Oleh karena itulah tidak heran, jika banyak ulama yang
mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi pada sektor perbankan saat ini,
lebih jahiliyah dibandingkan dengan riba jahiliyah.
Selain terjadi pada aspek pembiyaan
sebagaimana di atas, riba juga terjadi pada aspek tabungan. Dimana nasabah
mendapatkan bunga yang pasti dari bank, sebagai kompensasi uang yang
disimpannya dalam bank, baik bank mengalami keuntungan maupun kerugian. Berbeda
dengan sistem syariah, di mana bank syariah tidak menjanjikan return tetap,
melainkan hanya nisbah (yaitu prosentasi yang akan dibagikan dari keuntungan
yang didapatkan oleh bank). Sehingga return yang didapatkan nasabah bisa naik
turun, sesuai dengan naik turunnya keutungan bank. Istilah seperti inilah yang
kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi hasil.
2.
Transaksi Asuransi.
Dalam sektor asuransi pun juga tidak
luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi (konvensional) terjadi tukar
menukar uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak
sama. Sebagai contoh, seseorang yang mengasuransikan kendaraannya dengan premi
satu juta rupiah pertahun. Pada tahun ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga
100 juta rupiah. Dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi
sebesar harga mobilnya yang telah hilang, yaitu 100 juta rupiah. Padahal jika
diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3 juta rupiah. Jadi dari mana 97
juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97 juta rupiah yang ia terima masuk
dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas
yang tidak sama).
Pada saat bersamaan, praktek
asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah (kelebihan yang dikenakan atas
pertangguhan waktu), karena uang klaim yang didapatkan tidak yadan biyadin
dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh
karenanya terjadilah riba nasi’ah. Hampir semua ulama sepekat, mengenai
haramnya asuransi (konvensional) ini. Diantara yang mengaramkannya adalah Sayid
Sabiq dan juga Sheikh Yusuf Al-Qardhawi. Oleh karenanya, dibuatlah solusi
berasuransi yang selaras dengan syariah Islam. Karena sistem asuransi merupakan
dharurah ijtima’iyah (kebutuhan sosial), yang sangat urgen.
3.
Transaksi Jual Beli Secara Kredit.
Jual beli kredit yang tidak
diperbolehkan adalah yang mengacu pada “bunga” yang disertakan dalam jual beli
tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfruktuatif, naik dan turun sesuai
dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan harga
belinya menjadi tidak jelas (gharar fitsaman). Sementara sebenarnya dalam
syariah Islam, dalam jual beli harus ada “kepastian” harga, antara penjual dan
pembeli, serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga
maupun pada barang yang diperjual belikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan”
pembayaran di tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual
atau oleh daeler dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan
dianggap sebagai “sewa” terhadap barang tersebut.
Belum lagi komposisi pembayaran
cicilah yang dibayarkan, sering kali di sana tidak jelas, berapa harga pokoknya
dan berapa juga bunganya. Seringkali pembayaran cicilan pada tahun-tahun awal,
bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok hutang yang harus dibayarkan.
Akhirnya pembeli kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini tentunya
berbeda dengan sistem jual beli kredit secara syariah. Dimana komposisi cicilan
adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami perubahan
sebagaimana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas, jika terjadi
kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk penjual maupun
pembeli.
Masih banyak sesungguhnya
transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi di tengah-tengah kehidupan
kita. Intinya adalah kita harus waspada dan menghindarkan diri sejauh-jauhnya
dari muamalah seperti ini. Cukuplah nasehat rabbani dari Allah SWT kepada kita
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)
Wallahu
A’lam Bis Shawab.
By. Rikza
Maulan, Lc., M.Ag.
Untuk Navigasi Lengkap Silahkan Kunjungi Peta Situs